Love,  Refleksi,  story

Kita Punya Banyak Cinta

Kalian yang bosen denger, #eh liat maksutnya :), coretan-coretan saya yang lompat-lompat, acak kadut gak karuan, baca ini deh.. ini bukan sekedar selingan, ada ilmu dan pesan yang ditulis dari hati oleh penulisnya. Recomended to read, dan insyaaLloh gak buang waktu. #MendadakMellow –Silakan dinikmati

“Aku memperjuangkannya, siapapun ia yang menemaniku mendaki, BUKAN IA YANG MENUNGGUKU DI PUNCAK!!!!!” — Yunus Kuntawi Aji

Tulisan oleh : Fahd Djibran

Tiga tahun adalah waktu yang singkat tetapi sekaligus panjang, tergantung dari mana dan bagaimana kita melihatnya. Waktu memang selalu begitu, Sayangku, relatif sekaligus ambigu. Tetapi, aku akan menggunakan cara pandang yang lain, bukan dengan waktu-mati (durasi) tetapi dengan waktu-hidup: Tiga tahun bersamamu adalah tiga tahun terbaik dalam hidupku…

***

Bagaimana rasanya bila seseorang yang paling kau cintai berjalan ke arahmu, dengan pakaian dan riasan terbaiknya, menggenapkan langkah-langkah kecilnya untuk berjanji sehidup-semati menemanimu dalam sedih atau bahagia—untuk selama-lamanya? Bagaimana rasanya bila langkah-langkah itu kian dekat, semakin dekat, dan semakin dekat lagi, hingga membuat dadamu berdebar hebat, sementara tatap mata dan senyuman terbaiknya hampir membunuhmu dalam kebahagiaan?

Aku pernah mengalaminya, Sayangku, sekali dan hanya sekali untuk selama-lamanya.

Jumat siang, 25 Desember 2009, pukul dua selepas shalat Jumat, kau melangkah perlahan ke arahku yang terlebih dahulu telah duduk di hadapan Penghulu. Dua orang perempuan berjalan mendampingimu. Aku melihatmu yang begitu berbeda siang itu: Kau telah berubah menjadi perempuan yang entah bagaimana bisa membuat dirimu sekian kali lipat lebih cantik dari hari-hari biasanya. Bukan tersebab riasan di wajahmu, atau gaun kebayamu, atau sanggul emasmu, tetapi senyummu: Lengkung bibir yang entah bagaimana telah mengirimkan jutaan perasaan bahagia ke dalam hatiku. Sungguh, tak pernah ada kecantikan lain yang sanggup membuatku sebahagia siang itu, Sayangku. Hanya kamu, hanya senyummu yang bisa melakukannya untukku.

Kemudian kau duduk tepat di sampingku. Wangi bunga melati di sanggulmu menguar membius penciumanku. Inikah wewangian surga itu? Aku sedikit menolehkan wajahku ke arahmu, sebentar, aku melihatmu dari dekat dan seketika waktu menjadi sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Ah, Sayangku, aku ingin setiap hari merayakan semua yang ada pada dirimu siang itu—selamanya…

“Sudah siap?” Suara Penghulu mengembalikanku pada kenyataan.

Aku menatap Penghulu yang tak kuketahui namanya, menganggukkan kepala, “Ya,” jawabku.

“Baik, hadirin sekalian, kita akan segera melakukan prosesi ijab qabul.” Ujarnya.

Ah, Sayangku, beberapa menit ke depan, hidup kita akan segera berubah. Ini bukan hanya tentang menjadi sepasang suami istri dan kita bisa bersama sepanjang waktu, tetapi lebih berat lagi. Bagiku, selepas ijab-qabul ini, kau akan segera menjadi bagian dari tanggung jawabku; Aku berkewajiban membahagiakanmu, memenuhi segala kebutuhanmu, mendidik dan membimbingmu ke surga yang aku sendiri ragu bisa mencapainya.

Semoga kita bisa melakukannya bersama-sama: Menjadi sepasang Adam dan Hawa yang boleh jadi melakukan kesalahan-kesalahan yang membuat Tuhan murka, tetapi bersedia menebusnya dengan segala yang kita punya untuk kembali menemukan surga. Kita akan melakukannya, berdua, dalam langkah-langkah kecil yang kadang membuat kita letih atau tertatih, tetapi jangan putus asa, sebab sepenuh cinta kita akan selalu bersama untuk tetap berangkulan di gunung cahaya—Jabal Nur kita.

***

Kini, tanganku dan tangan Papamu telah saling menjabat di atas sebuah meja kecil yang terletak di hadapan kita. Aku menatap wajah Papamu yang tampak digayuti kecemasan. Akupun demikian, Sayangku: Aku gemetar menghadapi sebuah perjanjian suci di bawah nama dan persaksian Tuhan bahwa aku akan menjadi Adam bagi Hawaku, Yusuf bagi Zulaykhaku, Muhammad bagi Khadijahku. Tetapi tersebab aku mencintaimu, sangat mencintaimu, Sayangku, aku akan melakukannya sebaik apapun yang kubisa…

Pertama-tama, Papamu membacakan tiga kalimat istigfar disusul dua kalimat syahadat. Ia mengeratkan genggaman tangannya di tanganku. Menatap lekat mataku. Di sanalah, sesuatu yang asing segera hadir dalam diriku—semua tentangmu, semua tentang kita, segalanya seolah hadir mengisi ruang-ruang pikiran dan perasaanku… Semua perasaan bercampur seketika, menerbitkan kyakinan sekaligus keraguan, sementara segalanya telah benar-benar dekat… Saat semua mata, amsal bagi penglihatan dan pengetahuan Tuhan tentang segala sesuatu, tertuju pada kita di masjid itu…

Suasana seketika menjadi hening. Kekhidmatan menjalari semua yang hadir di masjid itu. Ujung mata kiriku kembali menangkap wajahmu yang kini tampak lebih gugup. Bibirmu tak berhenti berzikir atau membacakan doa apa saja—aku bisa menduganya.

Lalu Papamu mendekatkan posisi mic di hadapannya. Empat orang saksi menajamkan pendengaran dan penglihatan mereka. Dan keheningan melenyapkan suara-suara…

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, saya nikahkan dan saya kawinkan ananda Fahd Pahdepie bin Haji Adang Hambali dengan putri kandung saya, Rizqa Fitriani Abidin binti Haji Zainal Abidin, dengan mas kawin perhiasan emas seberat 50 gram dan seperangkat alat shalat dibayar tunai.” Demikian Papamu membacakan kalimat itu dalam bahasa Arab yang fasih…

Seketika keheningan merasuki diriku, disusul perasaan haru dan bahagia. Semua mata mengarah kepadaku, menantikan ‘qabul’ bagi ‘ijab’ yang baru saja diucapkan Papamu. Di sanalah sebuah sentuhan dari Penghulu menjentik tepat di atas punggung tanganku, memberikan isyarat—

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Rizqa Fitriani Abidin binti Haji Zainal Abidin dengan mas kawin tersebut, tunai!” Aku mengucapkannya dalam satu tarikan nafas, dengan Bahasa Arab yang agak terbata-bata…

“Syah?” Penghulu bertanya kepada para saksi dan hadirin. Kecemasan menguasai diriku…

Kemudian empat orang saksi dari keluargaku dan keluargamu memberikan persetujuan—dengan anggukkan dan senyuman. “Syah…” Jawab salah satu dari mereka. Pada saat hampir bersamaan, hadirin bersama-sama meneriakkan, “Syah… Syah… Syah…” Suasana seketika berubah sukacita. Bahkan ada yang bertepuk tangan.

Airmata mengambang di pelupuk mata… Ada rasa hangat yang membuat napasku jadi berat. Aku melihatmu mengusap airmata—semoga kau juga berbahagia…

Alhamdulillâh… Alhamdulillâh… Alhamdulillâh… Bârakallâh…” Penghulu kemudian membacakan doa yang tak bisa kutangkap seluruhnya…

Aku menoleh ke arahmu yang kini telah syah menjadi istriku. Kamu juga menoleh ke arahku. Kita bertukar senyuman dengan cara yang asing—tetapi begitu membahagiakan. Cinta seolah terbentang di antara kedua senyum kita. Aku ingin segera merangkulmu—kalau bisa…

“Cium… cium… cium…” Dari kejauhan, aku mendengar suara itu. Genit. Kamu tersipu. Aku tersipu. Tapi aku mau…

***

Sementara suara riuh terus membentuk atmosfer sukacita, Papamu menjabat erat tanganku, kemudian memberi isyarat untuk merangkulku. Aku menyambut pelukan Papamu yang kini juga telah menjadi Papaku.

“Papa titipkan Rizqa kepadamu,” Demikian suara Papamu berbisik di telingaku, perlahan, berat, dengan nada penuh keharuan yang tak bisa lagi disembunyikan, “Papa sangat menyayanginya. Papa akan sakit hati jika kau menyakiti perasaannya.”

Seketika, keharuan itu segera menular merasuki keseluruhan diriku. Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Papamu menepuk-tepuk pundakku.

Dalam suasana yang masih dipenuhi sukacita, aku memandang ayah dan ibuku yang menangis di sisi lainnya. Ayah yang kukenal tegar dan tegas, tak bisa lagi menyembunyikan keharuannya: Dia berkali-kali memandang langit-langit masjid untuk mengusir airmatanya. Sementara Ibu, perempuan agung itu, tak bisa menahan deras airmata yang meluncur di tebing pipinya. Keharuan yang lebih besar tiba-tiba menguasaiku dari dalam, menjadi hujan-mata-pisau kesedihan yang tak bisa kuelakkan: Kilas-balik kenangan bersama mereka, semua yang telah mereka berikan dan korbankan, tiba-tiba bermunculan dalam ingatan.

Apakah pernikahan ini akan membuatku meninggalkan mereka—dan aku tak boleh menjadi putra kesayangan mereka lagi? Aku memutuskan berjalan ke arah mereka berdua, ayah dan ibuku.

Tepat di hadapan mereka, aku hanya bisa menangis, tanpa kata-kata. Ibu segera memelukku dengan erat. Ayah merangkul kami berdua: Kami menangis bersama dalam sedih yang membuat kami bahagia. “Semoga pernikahanmu selalu dilingkupi keberkahan dan kebahagiaan,” bisik Ayah bagai doa dalam telinga. Ibu tak mengatakan apa-apa, ia hanya mengeratkan pelukkannya, seolah tak rela melepaskanku… Punggung kami berguncang.

Apakah kau masih mengingat semua yang terjadi hari itu, Sayangku?

***

Seminggu setelah pernikahan kita, aku membawamu untuk tinggal di luar kota di mana aku bekerja. Kita menyewa sebuah rumah kecil di pinggiran ibukota. Hanya karpet kecil, perlengkapan dapur seadanya, kasur busa dan kipas angin yang kita punya. Aku juga tak punya banyak simpanan uang di bank, sementara gajiku sebagai pegawai baru hanya dibayarkan kantor 80%-nya saja. Tetapi kau mendampingiku dengan penuh kesabaran. Selalu. Sejak pertama kali kita hidup bersama…

“Kita punya banyak cinta,” katamu sambil tersenyum, “Untuk apa khawatir?” Dan aku selalu merasa jadi jauh lebih tenang mendengarkan kalimat itu.

“Aku janji ini nggak akan lama, kita akan hidup bahagia,” kataku. Sungguh-sungguh.

Kamu masih tersenyum. “Tenang saja. Kita akan menghadapi apapun bersama-sama,” katamu. Dan aku jadi suami paling berbahagia di dunia.

“Tidak apa-apa,” katamu suatu malam, sementara kita hanya punya uang lima puluh ribu rupiah untuk menunggu tanggal gajian yang masih seminggu lagi. Tapi, “Insya Allah aku bisa mengaturnya,” katamu.

Setiap hari, aku bangun lebih pagi, menyaksikanmu berdoa atau menyiapkan apa saja untuk keperluanku… Dan aku berjanji bekerja lebih giat lagi, atau berjalan lebih cepat, atau terlelap lebih malam dan bangun lebih awal… Untuk kebahagiaan kita…

Entah doa kita yang mana yang didengar Tuhan—lalu dikabulkan. Tetapi aku kira bukan doaku; Aku merasa terlalu banyak dosa untuk didengar lirihnya oleh Tuhan. Aku yakin itu doamu, doa tulus seorang istri untuk suaminya… Doa sakti seorang ibu untuk anaknya…

Setahun kemudian, kita dikarunia putra pertama yang cerdas dan tampan. Aku senang luar biasa. Dan dua tahun kemudian, pada ulang tahun Kalky yang kedua, 20 November lalu, kita telah menyaksikan segalanya mulai berubah menjadi lebih baik dan lebih baik lagi: Kita sudah punya rumah sendiri, tabungan pribadi, kendaraan, dan hampir semua yang kita butuhkan. Alasan apalagi yang harus membuatku tak menjadi lelaki paling bahagia sedunia? Di atas semua itu, aku sudah punya kamu, istri paling istimewa dan ibu paling hebat sedunia… Juga Kalky…

Sayangku, tiga tahun ini, bersama-sama, kita sudah melewati tangis dan tawa, sedih dan bahagia, aku meridhoimu sebagai istri yang berbakti… Sungguh. Selama ada kamu di sampingku, aku merasa tak perlu mengkhawatirkan apapun lagi.

Terima kasih telah selalu ada untukku dan juga anak kita—dengan banyak cinta.

***

Sayangku, hari ini, tepat tiga tahun setelah hari pernikahan kita, aku memandang foto pernikahan kita berdua. Tiga tahun tiba-tiba terasa begitu singkat, sebab aku masih mengingat hampir semua detil peristiwa di hari pernikahan kita, tetapi sekaligus panjang, sebab ternyata telah banyak yang kita lewati bersama sebagai suami-istri yang berbahagia. Waktu memang selalu begitu, relatif sekaligus ambigu. Tapi izinkan aku menggunakan cara pandang yang lain, bukan dengan waktu-mati tetapi dengan waktu-hidup: Tiga tahun bersamamu adalah tiga tahun terbaik dalam hidupku…

Jika suatu hari aku ditanya keputusan terbaik apa yang pernah kubuat dalam hidupku, aku tak akan ragu menjawabnya: Menikahimu, adalah keputusan terbaik yang pernah kubuat selama hidupku!

Selamat ulang tahun pernikahan kita, Sayangku.

============
#sekian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *