Apa yang kita makan selama ini
Makanan yg sehat, menghasilkan fisik yang sehat. Makanan yg tidak sehat, mengakibatkan sakit, mengundang penyakit. Kita tahu korelasi ini, hubungan ini, dan kebanyakan dari kita tidak banyak yang membantah, taat, kecuali orang2 yang punya banyak keterbatasan–apa daya, makan saja sudah syukur.
Kita menghabiskan banyak waktu, usaha, untuk memastikan korelasi ini be
kerja dengan baik. Kita, jika mengajak keluarga makan di luar, mengintip dulu apakah tempat makan itu oke atau tidak. Ramai atau tidak–kalau ramai, biasanya aman. Mendengarkan cerita dari orang lain, apalagi kalau Pak Bondan sudah bilang mak nyus, di layar kaca, langsung tancap gas, recommended.
Juga di rumah. Ibu-ibu memasak dengan mencuci bahan makanan. Piring, gelas, sendok, dicuci bersih. Sumber air dipastikan baik. Jika ada pembantu yang masak, diingatkan berkali2 standar masakan keluarga. Kita semua peduli akan kesehatan makanan keluarga kita, bukan? Anak2 yang jajan di luar selalu diingatkan, agar berhati2 dan tidak sembarangan.
Kenapa? Karena ‘hukuman’ atas pelanggaran korelasi ini langsung terlihat. Iseng makan kue basi, atau lauk busuk, tinggal tunggu hitungan jam, perutnya melilit, sakit. Ngotot makan sambal banyak2, juga tunggu saja besoknya, terpaksa bolak-balik ke toilet. Juga makanan sembarangan, menyebabkan tipes, demam, dsbgnya. Hukuman atas pelanggaran korelasi ini langsung nyata. Mau coba?
Nah, adakah yang mau peduli kalau korelasi makanan itu ternyata tidak hanya soal itu?
Karena ternyata ada korelasi lain. Yaitu: makanan yg baik sumbernya, halal memperolehnya, akan membuat kita ‘sehat’; sedangkan makanan yg buruk muasalnya, ‘haram’ cara mendapatkannya, akan membuat tubuh kita ‘sakit’, berpenyakit.
Dalam banyak riwayat yang sahih, bukankah ibadah kita ditolak mentah-mentah jika ada makanan haram yang masuk ke perut kita. Shalat siang malam, berdoa tiap menit, semua ditolak mentah-mentah. Bagaimana kita mau berharap diterima, tubuh kita ‘sakit’. Kita merasa bahwa kita sudah saleh sekali, rajin sekali beribadah, tapi semua kosong, tidak ada nilainya. Korelasi ini valid, tidak terbantahkan, silahkan cek hadist2 terkait. Tentu saja, itu benar, tidak seperti korelasi pertama sebelumnya, ‘hukuman’ atas pelanggaran korelasi ini tdk terlihat seketika. Tidak langsung dikirimkan, kita langsung ‘sakit’.
Meskipun demikian, menyadari bahwa korelasi ini sungguh valid, mulailah sejak sekarang kita memperbaiki apa yang kita makan. Pastikan kalau kita hanya mengunyah makanan dari sumber yg halal. Jangan rusak masa depan anak-anak kita dengan memberikan makanan yg buruk cara memperolehnya. Kabar baiknya, kita tidak perlu mengintip dapur, memastikan ramai tidak, atau mencari rekomendasi mak nyus tentang korelasi makanan kedua ini, kita cukup menilai diri sendiri, kitalah yang tahu persis apakah makanan yg disajikan utk diri sendiri dan keluarga diperoleh dr proses yg halal atau haram. Juga pakaian yg kita kenakan. Harta2 yang kita peroleh. Tinggal mengukur diri sendiri. Apakah pekerjaan kita halal, apakah cara memperoleh pekerjaan itu halal, apakah, dan apakah, silahkan dievaluasi sendiri.
Kapan korelasi kedua ini benar2 membuat kita ‘sakit’? Kelak, di hari penghabisan. Karena, aduhai, bagai sembilu mengiris hati membayangkannya, berpuluh2 tahun kita terus beribadah, berpuluh2 tahun kita merasa baik2 saja, merasa sudah menabung begitu banyak kebaikan lewat ibadah, tapi ternyata kosong, semua ditolak. Kaget sekali melihat laporan tabungan tersebut, kemana larinya? Hanya karena makanan kita haram. Itu sungguh akan menyakitkan. Maka mari terus memupuk rasa takut. Takut kalau sumber makanan kita ada yg haram, jangankan satu piring, satu butir nasi pun amit-amit.
-tere-liye