My Way,  Refleksi,  Tausiah

Ujian Cinta

“Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali-Imran: 14)
Berbicara tentang cinta
memang tak pernah ada habisnya. Seperti magis, daya tariknya tak pernah
pudar dimakan waktu. Meski zaman silih berganti, ia masih dijadikan
inspirasi atas jutaan lagu, prosa, film, hingga sinetron di televisi. 
Cinta memang unik. Ia adalah
sumber kekuatan sekaligus kelemahan dalam diri manusia. Menjadi
kekuatan jika ditempatkan sesuai porsinya, ditujukan pada yang berhak
mendapatkannya, dan diekspresikan dengan cara-cara yang baik dan benar
adanya. Tanpa terpenuhinya ketiga syarat ini, cinta dapat berubah
menjadi sumber kelemahan manusia yang hanya akan melahirkan kehancuran
dan malapetaka.
Maka tak ada yang lebih
berhak mendapatkan cinta terbaik, terdalam, dan termurni dari manusia
kecuali Dia Sang Maha Cinta itu sendiri. Dialah Allah yang menciptakan
langit dan bumi dan segala yang ada di antaranya. Yang tiada henti
memberikan nikmat dan cinta pada hamba-hamba-Nya di seluruh belahan
dunia. Dialah Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Sudah semestinya cinta kepada-Nya
berada di atas segala-galanya, karena itulah wujud iman dan takwa yang
sebenarnya.
Setiap detik dalam hidup
kita adalah ujian cinta dari Sang Maha Cinta. Seperti halnya banyak
ujian di sekolah yang akan menilai pintar atau bodohnya seseorang, ujian
cinta dari Allah juga akan menjadi penilaian atas mulia atau kerdilnya
seorang manusia.
Nabi Ibrahim as, contoh
teladan berprestasi atas ujian cinta dari Allah telah membuktikan
kecintaan-Nya pada Sang Khalik berulang kali, mulai dari proses
pembakaran dirinya oleh Raja Namrud, perintah meninggalkan anak dan
istri yang dicintainya di padang kering kerontang tanpa makanan, hingga
yang paling mengharukan adalah perintah untuk menyembelih anak
tercintanya sendiri, Ismail. Subhanallah, semuanya dilewati beliau
dengan nilai sempurna. Ia tlah membuktikan betapapun ia mencintai
apa-apa yang Allah berikan di dunia, Allah lah pemilik cinta di atas
cintanya, sebagaimana firman-Nya bahwa “di sisi Allah lah tempat kembali yang baik”.
Lalu di manakah kita berada? Ketika cinta hanya digambarkan dengan sebentuk hati berwarna pink, seonggok cokelat di hari valentine,
segurat ekspresi cinta ala film korea, atau sebersit kenangan bersama
di apel malam minggu, masih adakah cinta di atas cinta? Jujurlah pada
hati nurani dan kan kita temukan kata ya, tidak, atau kata ya dengan
tambahan kata tapi dan beragam pembenaran.
Ketika kita sedang jatuh
cinta, banyak dari kita yang tidak merasa sedang diuji. Di sanalah
beratnya ujian ini, ia terasa begitu indah. Dan, no offense, pernahkah kau merasa berdebar dan begitu bahagia ketika bertemu, berbicara dan bersenda gurau dengan seseorang? Come on,
semua orang pasti pernah jatuh cinta, ia adalah fitrah dan berkah bagi
manusia, tapi apa jadinya ketika kemudian itu terjadi pada dua insan
manusia yang belum terikat pernikahan? Di sinilah ujian menjadi semakin
berat. Setan dan konco-konconya membuat cinta terlarang amat mudah
merasuki beragam jenis manusia mulai dari yang paling kacau balau hingga
yang paling salih. Buktinya masih banyak di antara kita yang menganggap
pacaran sebagai perbuatan tidak berdosa atau mungkin kecil dosanya.
Sekelompok orang tanpa ragu
berpacaran mengumbar syahwat melebihi hubungan suami istri. Sekelompok
lagi berpacaran dengan kedok lain. Tak ingin disebut pacaran karena
merasa kata itu begitu hina namun hubungan tetap dijalin. Mungkin hanya
“silaturahmi” ke rumah, makan bersama, saling memotivasi, atau sekedar
saling mengirim sms tausiyah. Namun yang pasti kesemuanya dibangun atas
kedekatan fisik atau kelamaan berinteraksi yang berpotensi melemahkan
iman.
Adalah bohong jika kita
tidak tahu batas-batas yang dihalalkan agama atas interaksi antar lawan
jenis. Akhirnya hubungan terlarang dibangun dengan membohongi hati
nurani. Mungkin sebagian dari kita berargumen hubungan seperti ini bisa
menjadi hal yang positif dan saling melejitkan kedua pihak, tentu selama
menjaga batas-batas yang diperbolehkan agama, tidak saling bersentuhan
misalnya. But come on, selama masih ada cinta dalam hubungan
terlarang, rasa rindu untuk bertemu akan selalu muncul, pun halnya
dengan angan-angan dan lintasan pikiran akan bayang-bayangnya.
Kenyataannya bukan saling melejtikan tapi hanya akan melemahkan pikiran
dan menguatkan khayalan. Maka ketika kemudian kita sadar bahwa shalat
dan dzikir kita tak lagi khusyuk, prestasi mulai menurun, dan pikiran
sulit mencapai fokus, akankah kita memutuskan untuk mengangkhiri
hubungan terlarang ini? Jawabannya belum tentu iya.
Berpisah terlalu berat.
Terlebih jika cinta tlah semakin hebat. Maka kemudian yang muncul adalah
kepengecutan. Pengecut karena tak ingin berhenti dicintai,
diperhatikan, atau dicemburui. Pengecut karena tak ingin kehilangan
orang yang istimewa atau tempat istimewa di hati seseorang. Ayat Illahi
dan hati nurani terkalahkan nafsu pribadi. Hingga Ia yang Maha
Pencemburu pun mungkin tak mau menoleh lagi.
Tapi percayalah, Allah Sang
Maha Cinta tak pernah lelah memberi petunjuk pada hamba-hamba-Nya.
Selama hati nurani masih mampu menangkap cahaya Illahi, niscaya
kejujurannya akan menguatkan diri dan mengokohkan iman. Fitrah untuk
kembali pada cinta di atas cinta akan selalu ada. Maka berhentilah
membohongi hati nurani dan pilihlah cinta yang paling hakiki. Hanya
kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon
pertolongan ya Allah. Segala puji bagi Engkau yang tlah menunjukan jalan
yang lurus dan Engkau Ridhoi.
Mari Berbenah
Ya Allah, kau tahu hati ini terikat suka akan insan ciptaan-Mu.


Tapi aku takut cinta yang belum waktunya ini menjadi penghalangku mencium surga-Mu.


Berikan aku kekuatan menjaga cinta ini sampai pada waktunya andaikan Engkau mempertemukannya denganku kelak.


Berikan aku kekuatan untuk melupakannya sejenak.


Bukan karena aku tak mencintainya, justru karena aku sangat mencintainya.
(Ali Bin Abi Thalib)
Alangkah indah jika semua
kisah cinta berakhir seperti kisah cinta Fathimah dan Ali. Saling
mencintai tanpa tahu satu sama lain, berusaha keras menyembunyikan
bahkan melupakan cinta, namun pada akhirnya Allah mempertemukan mereka
dalam ikatan pernikahan suci nan dirahmati.  Subhanallah. 
Tapi setiap kisah tak selalu
berakhir sama bukan? Yang harus kita lakukan sebagai manusia untuk
mencapai kebahagiaan hanyalah syukur dan prasangka yang baik kepada
Allah. Yakinlah semua akan indah pada waktunya dan Ia tlah menyiapkan
akhir yang lebih indah dari apapun yang kita bayangkan. Insya Allah.
Baiklah, sejujurnya saya
bingung di mana harus mengakhiri tulisan ini. Mungkin hanya ingin
sedikit curcol. Empat tahun itu rasanya cepat sekali. But yeah, bisa
jadi setahun ke depan akan terasa lambat sekali tanpa kehadiran
seseorang :’)
Akhirnya, untuk
seseorang yang telah lama saya jadikan inspirasi, untuk ia yang baik
hati dan selalu saya kagumi, maaf karena kelemahan diri tlah membawa
hubungan kita terlalu jauh. Jaga kesehatan dan berhentilah menerobos
hujan atau tidur di lantai yang dingin. Mudah-mudahan Allah mengampuni
segala dosa, memudahkan kita mengikhlaskan hati dan menjaga kita untuk
selalu istiqomah berada di jalan yang diridhoi-Nya. Amin ya Rabb.
Mungkin suatu hari kita bisa bertemu lagi. Entah dalam kondisi apa dan
bagaimana, wallahualam bi sawab :’)
REBLOG dari SINI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *