NGAMBEK !!
Beberapa waktu yang lalu sempet baca bukunya asma nadia yang sakinah bersamamu.. aaaaaa… ternyata cara berpikirnya wanita dan pria itu emg berbeda banget, semoga jadi tambahan ilmu deh. Ini salah satu bagian yang ada dibuku itu yang diambil dari note perpustakaan masmuja UNY. Gak perlu bertele-tele, yang mau baca mangga aja di simak.
(Buku: Sakinah Bersamamu_Asma Nadia)
Kalau saja dia masih mahasiswi, barangkali Indah sudah demo di jalan tiap hari!
Perempuan berusia dua puluh empat tahun itu mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Berusaha membentuk garis ketus yang seketus-ketusnya. Biar Ryan tahu dia kesal. Biar Ryan ngeh, dia tersinggung berat dengan kalimat lelaki itu tadi pagi. Biar lain kali sebagai suami dia lebih hati-hati bicara. BIAR!
Dan gerakan ‘no comment’ itu diteruskan Indah hingga malam tiba, saat mereka bersiap tidur. Ia hanya mengamati saja tingkah Ryan. Tiba dari kantor, suaminya tampak menghabiskan waktu sorenya dengan membaca Koran. Saat makan malam lelaki berkulit putih bersih itu menyelesaikannya dengan tenang. Malah masih sempat-sempatnya mengucapkan terima kasih. Setelahnya berwudhu dan melakukannya salat Isya, kemudian mengaji sebentar, lalu rutinitas bersih-bersih dikamar mandi, dan terakhir dengan santai berjalan ke pembaringan, mengambil tempat di sisi Indah. Tidak lupa mengecup kening istrinya.
Indah diam saja. Sama sekali tidak bereaksi. Tidak, sebelum Ryan mulai membujuknya. Barang kali diawali dengan menanyakan rutinitasnya hari itu, dan mengapa Indah tidak bicara apapun, tidak menelepon Ryan dikantor seperti yang biasa ia lakukan, tentunya saat sedang tidak ngambek. Setidaknya itu menjadi semacam bendera putih yang akan membuka pintu perdamaian dari perang urat syaraf yang mereka lakukan. Ups, yang laki-laki itu lakukan.
Indah menunggu. Matanya melirik jam berbentuk hati yang tergantung di dinding kamar. Sambil diam-diam menyiapkan jawaban atas kalimat-kalimat yang mungkin akan keluar dari mulut Ryan. Namun hingga lewat sepuluh menit. Tidak terjadi apa-apa. Mereka hanya dua tubuh tergolek berpunggungan di tempat tidur dalam diam.
Dua tahun menikah, mereka masih saja berdua. Saat-saat ngambek begini baru terasa sepinya. Kalau punya anak, pasti bisa jadi pelipur. Tawa anak-anak, montok tubuh bayi, semuanya selalu menyenangkan Indah sejakdulu. Kalau ada anak, ia mungkin tak perlu sering-sering ngambek. Sebab ngambek jadi tidak penting. Tidak seperti sekarang.
Lewat sudut matanya Indah melirik jam di dinding, lagi. Setengah jam sudah, tapi belum ada yang mau mengalah.
Penasaran, Indah bangkit dari tidurnya. Duduk di pinggir ranjang, berharap Ryan akan menegur (Kenapa, Sayang? Enggak bisa tidur, ya?) Tapi lagi-lagi tidak terjadi apa-apa. Cuma suara napas yang berangsur terdengar makin keras. Dengkur. Ryan mendengkur. Terlalu.
Kesal, Indah melemparkan badannya kembali ke kasur. Berjam-jam setelahnya, perempuan berparas sederhana itu masih merayapi langit-langit kamar. Kesumat. Dan Ryan, yang sempat diliriknya berkali-kali, malah tersenyum manis dalam tidurnya. Entah bermimpi apa.
Malan itu Indah belajar sesuatu: hal paling tidak enak ketika ngambek adalah … dicuekin!
***
Pagi sebelumnya
Indah meraih selembar tabloid yang dibelinya kemarin. Antusias ia membuka halaman tertentu, lalu menyodorkannya pada Ryan yang sedang sarapan. Membacakannya dengan suara cukup keras, liputan yang menurutnya menarik, tentang seleb kesayangan Mama Ryan yang digosipkan sudah bercerai.
Ryan kalem saja, meski wajahnya seperti menyiratkan sesuatu. Bukannya menanggapi, cowok itu justru menyuruhnya sarapan.
Sarapan? Bisa nanti-nanti. Tapi berita ini seru banget. Bahkan bagi penggosip pasif seperti dirinya. Gemas dengan reaksi Ryan, Indah mencari berita lain. Matanya menyusuri halaman demi halaman, berusaha menemukan hal-hal yang mungkin belum didengar Ryan. Kemudian kembali membacakannya keras-keras.
“Ryan, kenapa ya mereka enggak ngaku aja. Kalau memang kondisinya begitu. Kan enggak usah membohongi publik. . . apalagi . . . dst . . . dst . . .” celoteh Indah antusias. Sebetulnya ia bukan bigos yang suka nyebarin gosip ke sana kemari. Tapi dunia selebritis sekarang memang menjadi konsumsi yang menarik bagi siapa saja. Tidak hanya ibu rumah tangga, bapak-bapak pun menaruh minat. Maka perkembangannya pun menajdi topik mahapenting yang harus selalu di-update. Terutama bagi makhluk kantoran seperti Ryan.
“In . . .”
“Iya, pasti kamu kaget juga kan?”
“In!”
Aku juga waktu pertama tahu. Enggak nyangka aja,wajahnya kan innocent banget! Ternyata . . . siapa kira kalau . . . “
“Indah Sari!”
Ups. Ryan bersuara keras. Memanggil namanya lengkap. Itu barang baru.jarang terjadi. Dan biasanya berarti tidak terlalu baik.
“Ya?”
Indah menatap wajah Ryan yang merah. Wajah yang berusaha keras menahan sesuau agar tidak meledak. Indah menunggu.
Tapiu hingga beberapa menit. Suaminya tidak berkata apa-apa.
“Ryan, kenapa?”
“Enggak. Enggak apa.”
“Kok kayak marah gitu?”
Ryan menundukkan wajah, lalu mengangkatnya pelan-pelan hingga pandangan mereka berada dalam satu garis lurus.
“Enggak, Cuma dulu kamu enggak begitu.”
Indah masih belum mengerti.
“Kayak gitu kan gosip In. Jatuhnya fitnah.”
“Lho, belum tentu dong, Ryan. Bisa jadi betul!”
Indah membela diri. Ryan mengangguk. Menyentuh lembut punggung tangan istrinya.
“Lho, kalau bener, itu namanya buka aib orang.”
Indah mati kutu. Ia bukan tak tahu soal itu. Jelek-jelek, dulu waktu kuliah di Sastra Bahasa Inggris, ia aktifis pengajian kampus. Organisasi yang mempertemukan dia dengan Ryan, si ganteng yang sekarang memandangnya serius.
“Maksudku, kenapa sih enggak mengurusi hal-hal lain yang jelas penting?”
Indah tersinggung berat. Ia tak suka teguran Ryan yang terakhir. Maka untuk menunjukkan kekesalannya Indah pun bertekad pasang muka ketus dan berdiam diri. Hasilnya?
Nothing.
***
Akhirnya Indah capai sendiri berdiam diri. Apalagi Ryan tetap bersikap baik, seolah tidak ada apa-apa. Indah pun mendamaikan perasaannya.
Sayang, tidak sampai seminggu Ryan sudah membuat Indah kesal lagi. Kali ini Indah menunjukkan protes yang lebih serius. Ia mogok makan. Komentar Ryan semalam sungguh membuat ILFIL. Alias, hilang feeling. Itu sebabnya,ketika pagi mereka makan bersama. Indah tidak menyentuh apa-apa. Hanya air putih. Itu pun terpaksa, karena Indah tahu sekali dia paling tidak kuat menahan haus. Kalau adulapar bolehlah dicoba.
“Enggak makan, In? Nasi goreng?”
Indah menggeleng.
“Roti?”
Menggeleng lagi.
“Mau dibeliin bubur ayam?”
Indah menggeleng. Kali ini lebih lemah. Soalnya bayangan bubur ayam panas-panas, dengan irisan cakwe dan ayam goreng, lengkap dengan taburan kacang kedelai dan kerupuk merah, membuatnya menahan liur.
Tapi tidak. Ia tidak boleh tergoda.
“Enggak pengen apa-apa.”
Dengan memberikan jawaban itu Indah ingin suaminya akan membujuk dan terus membujuk. Atau memberikan alternatif makanan lain. Mengajaknya makan diluar mungkin? Ini kan hari Ahad, kalau mau Ryan bisa membujuknya seharian penuh. Setidaknya dari jawaban terakhirnya, Indah sudah memberikan sinyal kalau dia merajuk.
Anehnya, Ryan dengan cepat menyerah dan hanya mengucapkan kalimat pendek.
“Aku mau mancing dulu sama Eko. Makan ya, biar enggak sakit.”
Hah? Indah benar-benar tidak menyangka Ryan akan seenteng itu pergi. Ia pun mencatat dalam hati: hal kedua yang paling menyebalkan ketika ngambek adalah, ditinggal sendirian!
Konsep ngambek itu kan sama seperti demo, protes, unjuk rasa, unjuk gigi. Pokoknya sesuatu yang harus diperhatikan oleh orang lain. Kalau cuma sendiri begini, bagaimana mau efektif? Hhh . . .
***
Malam sebelumnya.
Mereka berdua di halaman. Ada sinar bulan, ada bintang-bintang dilangit. Romantis.
Ryan bercerita banyak. Tentang situasi kantor, tentang tren baru di kalangan teman-temannya. Indah juga.
Mereka bertatapan. Mesra. Lalu sedikit bernostalgia. Tertawa.
Semuanya indah. Juga harapan tentang si kecil dan doa yang sepertinya harus lebih sering diucapkan agar Allah berkenan. Perfect.
Ryan menyentuh halus perutnya. Membelainya seolah jabang bayi sudah hadir di sana (lucu kali ya kalau udah ada ade-nya, Sayang).
Indah mengangguk. Bukan cuma suaminya yang mengharapkan itu. Dia sendiri rindu melihat pasangan lain yang sudah punya momongan.
Betul-betul sempurna. Momen berdua yang indah.
Sampai kemudian komentar Ryan melompat.
“In, tapi kok perutnya udah gendut? Gimana nanti kalau hamil?”
***
Kekesalannya bertumpuk-tumpuk. Dua kali ngambeknya gagal total, tapi kejadian yang sekarang sungguh keterlaluan. Indah belum pernah merasa begitu terhina. Dan untuk menunjukkan ketersinggungannya, kali ini perempuan itu bertekad membuat bentuk demo yang lebih nyata. Apalagi sebelum-belumnya Ryan kelihatan tidak sensi. Mungkin memang sensitivitasnya payah? Entahlah.
Hari pertama Ryan pulang dari tempat kerja. Indah bersikap biasa. Hanya kerudung kaus yang tidak ditinggalkannya, padahal di rumah tidak ada siapa-siapa. Hingga malam dan mereka siap tidur, Indah tetap tak melepaskan jilbab kausnya sama sekali. Meskipun dia harus kepanasan karena tidur dengan memakai jilbab. Biarlah.
Hari kedua, juga sama. Indah tidak membuka jilbabnya hingga Ryan terlelap.
Hari ketiga, Indah mulai tidak tahan. Dua malam ini tidurnya jauh dari nyaman. Maklumlah mereka pasangan muda yang masih sederhana. Dan kamar berukuran kecil itu hanya memiliki ventilasi. Tanpa jendela. Tanpa kipas angin.
Hasilnya? Indah keringatan semalaman. Tapi tekadnya masih kuat. Mustahil Ryan tidak sensi juga kalau melihat istrinya tidur pun berjilbab, tiga malam berturut-turut lagi. Kenyataannya? Kemustahilan itulah yang terjadi.
Indah gemas, kesal, mau marah, mau. . . meledak! Namun akhirnya ia menyerah. Diary-nya serta-merta penuh coretan tinta merah.
Hal ketiga yang paling menyebalkan dan membuat aksi ngambek seperti percuma adalah . . . berhadapan dengan orang yang tidak sensi!
***
Tiga hari sebelumnya.
Ini memang diluar dugaan. Kecelakaan.
Sebetulnya mungkin tidak perlu terjadi kalau saja salon langganannya buka. Rambutnya tidak akan sependek ini. Malah potongannya juga jelek banget. Sepertinya dia jadi bahan eksperimen dari tukang gunting rambut amatiran. Jadilah rambut lurusnya yang kaku jegrak di mana-mana. Mirip lelaki.
Harusnya salon itu menaruh tulisan ‘BELAJAR’ besar-besar di pintu kaca!
Tapi percuma mengomel panjang lebar. Yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Waktu tidak mungkin diulang.
Untunglah, yang dia tahu, Ryan tidak menunjukkan kepedulian yang tinggi untuk masalah rambutnya. Jadi Indah bisa sedikit lega.
Namun, reaksi Ryan melihat ‘model’ rambut barunya?
Laugh out loud!
Cowok itu ngakak. Tertawa habis-habisan! Menyebalkan!
Sekarang Indah sudah kehabisan akal. Apa yang harus dilakukan kalau nanti kesallagi? Tersinggung lagi sama Ryan yang sering tidak berpikir kalau ngomong? Mogok bicara sudah,mogok makan sudah, tidur dengan jilbab tiga hari tiga malam sudah. Semua ujung-ujungnya malah menyusahkan dan tidak enak buat Indah.
What else?
Pulang ke rumah Ibu?
Ah, itu nanti semakin membenarkan Ibu dan kakak-kakaknya, yang sebetulnya tidak terlalu menerima Ryan, karena usia mereka yang sepantar.
Belum-belum sudah terbayang wajah ibu yang penuh kemenangan berkomentar.
“Tuh kan, apa Ibu bilang?”
Tidak. Opsi itu harus dibuang. Indah tidak mungkin pulang.
Aneh sebetulnya memikirkan cara ngambek apalagi yang harus ditempuh, sementara dia tidak dalam masalah dengan Ryan. Belakangan ini memang tidak ada tingkah cowok itu yang membuatnya sakit hati.
“Ngelamun apa, Sayang?”
Ryan tahu-tahu sudah mengambil tempat di sampingnya.
Huh, kalau enggak lagi ngambek, malah perhatian sekali!
Tapi aslinya Ryan cukup perhatian, kadang suka juga melucu. Jeleknya, kalau lagi serius, cowok itu gayanya seperti menghadapi kolega. Bukan istri.
Indah diam saja. Tersenyum tipis.
“Ada masalah ya? Ribut sama Ibu?”
“Enggak.”
“Sama Mbak Tami?”
“Enggak.”
“Sama Mas Yadi?”
Sama kamu, tau!
Indah menggeleng.
“Kalau ada masalah, kenapa enggak cerita?” Biar gini-gini aku kan Mas-mu, hehehe.”
Sok romantis!
“Cerita dong. Aku kangen di-curhatin sama kamu.”
Sambil berkata begitu Ryan melingkarkan tangan ke bahu istrinya.
***Penasaran kisah selanjutnya? Ayo mba dan mas, silahkan mampir ke PERPUSTAKAAN MASJID AL-MUJAHIDIN UNY. Bukunya bisa dipinjam kok. Banyak buku-buku baru lho ^^,