Review Buku Cinta di Ujung Jari
Kalau melihat-lihat sejarah perjalanan hidup manusia, bisa jadi cinta adalah hal yang paling sering dibicarakan, digugat, dan dipertanyakan. Apakah cinta bisa didefinisikan? Bagaimana rupa cinta itu? Semua orang bertanya-tanya tentang cinta. Melalui Cinta Di Ujung Jari, Muhammad Akhyar dan Nayasari Aissa mencoba memberi pandangan mereka tentang cinta dalam cerita, yang terangkum dalam kisah hidup manusia. Kisah dalam buku ini dibuka dengan petikan kalimat menarik, “Aku menunggu (cinta) karena aku tak tahu dari mana ia akan datang, aku takut dia melewatiku atau aku melewatinya.” Drama tunggu-menunggu cinta ini kemudian diikuti dengan kumpulan dialog-dialog tentang cinta. Dari yang menggemaskan, menggoda, menyakitkan, semuanya. Bukankah cinta seringkali bermula dari dialog-dialog tanpa pretensi apa-apa? Dari dialog-dialog berlanjut ke perkenalan, pertemuan lebih lanjut, dan berakhir pada perasaan.
Kemudian simak kisah Utara dan Naira. Dua orang yang saling mencinta, tetapi tidak saling mencinta. Keduanya mencoba membaca tanda. Cintakah dia padaku, cintakah aku padanya. Jika pada akhirnya mereka bisa membaca tanda, apakah sebenarnya jatuh cinta memang ada tandanya? Bagi Naira, tanda itu bisa berupa jantung berdegup tak karuan, muka yang memerah, tangan yang gemetaran, perasaaan yang campur aduk. Cinta bagi Naira tidak bisa dideskripsikan, serta tidak bisa disembunyikan. Lalu bagaimana dengan Utara? Siapkah dia dengan perasaannya sendiri? Apakah cinta perlu kesiapan? Membaca kisah keduanya membuat saya merasa perlu untuk terus mengikuti kelanjutannya.
“Mungkin saatnya, kita harus berhenti lalu kemudian pergi dan lupa.”
Ketika cinta tidak berujung pada pastinya, itukah saatnya kita melupakan cinta dan pergi sejauh-jauhnya? Cinta adalah fenomena temporal. Seringkali kita dibuat bingung menanggapi cinta yang awal terhadap cinta yang datang belakangan. Hal ini pula yang menjadi pusat kebimbangan Naira ketika Ghazi datang padanya. Sedangkan Utara menjadi sekedar pengalaman masa lalunya yang justru membuat Naira bimbang dalam menentukan arah selanjutnya. Banyak orang yang datang dan pergi dalam hidup kita, demikian pula cinta. Lalu bagaimana Naira harus melanjutkan hidupnya ketika ia kembali dipertemukan oleh Utara?
Cinta Di Ujung Jari menyuguhkan kisah cinta yang siap hidang. Cinta yang sudah ada di ujung jari dan kita tinggal duduk tenang menikmatinya. Seolah seluruh cinta di seluruh dunia dirangkum dan siap untuk ditelan. Tulisan Nayasari yang lugas dan tulisan Akhyar yang mengajak kita untuk merenung, merupakan kombinasi yang menarik dari buku ini. Selain itu, buku ini juga kental akan referensi. Mulai dari Goenawan Mohammad, Sitok Srengenge, Sapardi Djoko Damono, hingga Sutardji Calzoum Bachri. Mulai dari persoalan memohon cinta pada Tuhan hingga tentang cinta Bulan pada Pungguknya. Lalu, cinta seperti apa yang kamu cari?
“Mungkin saatnya, kita harus berhenti lalu kemudian pergi dan lupa.”
-Yunus Kuntawi Aji