story

Cerpen : Dahaga di Rel Kereta

Belum selesai membacanya hingga akhir ketika saya memposting artikel ini, biasa masalah koneksi.. tapi ada satu titik temu dimana rehat membuat tak mengapa karena bisa dilanjut lain waktu. Dua garis rel itu, seperti kau dan aku. Hanya bersama, tapi tak bertemu. persis rehat dititik itu dan lanjut menikamati hidangan makan malam. Karya Ani, my partner Mujahidin Library Fighter..

———

Syahdu, gemericik rinai hujan membasahi tirai kelambu malam minggu. Pukul 19.00 tepat. Suara orang-orang bercengkrama dari luar kamar masih terdengar. Bersahut-sahutan dengan pesawat televisi yang menyala.

Aku masih duduk saja. Jadi satu di markasku. Seperti malam-malam sebelumnya semalam minggu ini hanya saja jadi milikku. Hujan yang menderas di luar, membuat para penghuni bumi semakin ingin menarik selimut.
Tetapi, guntur sedang tidak datang. Kuhampiri jendela dan kusingkap sedikit tirainya. Ayam-ayam menggigil kedinginan di dalam kandang. Berhimpitan mencari kehangatan, berlindung di balik bulu-bulu kamoceng mereka.
Di sudut lain, seratus ekor anak ayam melakukan hal yang sama. Di balik sorot lampu, dan selembar kain merah jambu yang menutupi, bayang-bayang mungil tubuh mereka berdesakkan, berjejalan berjalan kesana kemari di bawah tirai kelambu malam minggu yang basah di curah deras air hujan.
Kupandangi lagi LKS bahasa Inggris yang ada di tanganku. Menaruhnya di tualet kaca yang berada persis di samping jendela. Aku berbaring di atas tempat tidur. Menarik selimut seperti kebanyakan penduduk bumi yang sama di guyur dingin hujan malam ini. Suasana di ruang keluarga berubah sepi. Televisi mati suri.
“Hitungan tahun aku mengenalnya. Meski 5 masih seumur jagung. Kau tahu? mulai bosan. Hanya buatku semakin mendamba dan mencipta di tiap harinya”.
“….”
“Kupikir mungkin bukan aku yang tepat untuknya. Entah siapa yang membuatnya jadi semakin parah”.
“….”
“Aku..hah…” ia membuang udara “tak nyaman berada di rumah”.
“….”
Sisa air mineral dingin di tangannya di teguknya sampai habis. Kemudian ia mulai menoleh padaku.
“?. Apa?”.
“Kenapa sedari tadi kau bisu? aku jadi ragu kau dengar aku”. sahutnya sedikit jengkel.
“Hm? Ah. Haha. Aku menggelumbungkan tawa. “aku bukannya tidak mendengarkan. Kakak bilang kakak mulai bosan?” aku memandangnya. Ia hanya balas memandangku. Sementara aku kembali memandang lurus ke arah depan, ke arah bentangan langit biru yang di tembak si raja siang. Panas. Nyengat. Silau.
“Jangan tersinggung kak, tapi, pohon jagung itu mungkin memang belum tinggi. Masih TK,. Mungkin belum bisa baca” kali ini giliranku yang tak mendapatkan balasan.
“Kakak hanya perlu sedikit lebih bersabar untuk terus menyiramnya”. kataku menarik senyum.
Hening. Aku jadi merasa berjalan seorang diri di tengah pasar yang telah lama sepi.
“Biar tinggi kokoh seperti tiga biji kacang ajaib! Tembus langit yang terik itu”. Aku mendongak. Namun seketika tunduk menyerah karena bidikan sinarnya. Aku mengucek-ngucek mata. Kataku masih berbalas hening darinya. Kupandangi lagi saudara laki-lakiku itu dan kusenggol lengannya. Sukses membuatnya berbalik kembali memandang ke arahku. Ekspresinya penuh tanya.
“Kenapa sedari tadi kau bisu? aku jadi ragu kau dengar aku”. Aku balas menggodanya.
“Aku bukannya tidak mendengarkan”. Ujarnya malah ikut meniru kata-kataku. “kau bicara tentang kacang ajaib…maksudnya…konotasikan saja buah dari kesabaran dan harapan kau siram kacang itu, menunggunya tumbuh, maka pada waktunya kau akan menemukan kebahagiaan di penghujungnya. Makanan mewah dan angsa petelur emas—jika kau cukup tangguh untuk menghadapi raksasa. Catatannya, yang kuurai tadi seluruhnya dikonotasikan positif. Iya, kan?”. Jelasnya panjang lebar. Raut wajahnya menyelidik.
“Hm m”. Aku tersenyum lebar memandangnya, masih dengan kedua tanganku bertumpu pada gendongan ransel yang ku bawa. Ransel yang masih luang karena hanya berisi LKS bahasa Inggris dan MTK kelas 12 SMA, ponsel, dan ongkos pulang 4 ribu rupiah dalam dompet. Sebuah gantungan boneka bergoyang-goyang mengikuti iramaku melangkah.
Tak lama, kami mulai melewati gang yang sedikit becek. Gang yang membawa kami ke rel kereta yang mati suri. Matahari masih terik menyengat. Membuat area ini tetap terlihat gersang seperti sebelum-sebelumya. Tumpukan sampah menggunung di beberapa sudut. Satu dua ekor anjing berjalan bolak-balik mengendus-ngendus tanah dekat tumpukan sampah. Siang ini, warung tenda di ujung rel ramai oleh para tukang ojeg yang berteduh.
Di rel kereta yang mati suri itu ia mendadak berhenti. Dengan tangan yang memayungi muka kupandang saudara laki-lakiku. Ia memandang sekitar.
“Jangan tersinggung..” katanya tiba-tiba. Tatapannya masih lurus ke depan, tetapi sejenak kemudian ia sedikit tertunduk. “tapi pun kau bukan peri yang menuangkan harapan dan tiga buah kacang ajaib itu ke atas tanganku”. Ia memandang sekitarnya lagi. “juga bukan dukun.. Yang kau katakan memang benar, tapi…kau tak pernah benar-benar tahu kakak iparmu itu seperti apa. Pulang malam, uang belanja selalu kurang, abai nasihat dariku dan ibu, hah..sungguh, aku seperti sudah kehilangan cara”.
Sontak, hatiku mencelos mendengarnya. Tertunduk di bawah naungan tanganku sendiri. Ia memandangku untuk waktu yang cukup lama. Aku membuang udara. Terik ini membuat wajahku semakin memerah. Keringat sebutir jagung menetes satu-satu dari balik jilbab putihku. Aku menurunkan tangan, sejenak memandang sekitar seperti yang tadi dilakukannya. Mencoba kembali berpikir. Terbata-bata, kemudian aku bertanya
“Itu artinya..jika seandainya saat ini aku adalah Kak Yana, apa yang paling ingin Kak Faisal utarakan sebenarnya?”. aku menatapnya lurus.
“Dua garis rel itu, seperti kau dan aku. Hanya bersama, tapi tak bertemu”.
Aku buang muka selepas ucapan kak Faisal barusan. Memandang pemandangan tumpukan sampah yang menggunung dan rel yang mati suri itu lagi. Rel yang menghipnotis kak Faisal untuk berhenti. Mungkin memang benar aku tidak atau mungkin yang lebih nyaman—belum sepenuhnya mengenal kak Yana yang baru hadir di kehidupan keluarga kami. Di kehidupan kak Faisal. Namun aku hanya tidak ingin akhirnya seperti ayah dan ibu. “Masalah ini tidak boleh kembali berlarut! Pasti ada cara! Ya, pasti ada cara! Ah! tapi…apa?” aku meringis dalam hati. Dan dalam kekalutan itu tiba-tiba…
“Al, awas..!” ia menarikku ke dalam dekapannya. (wah, terlalu lebay ya sepertinya. #udah dari atas kalleee -___-a Ah. Biarin lah ya, suka2 yang nulis.. hehehe.. 😀 ) aku kaget bukan main. Seorang lelaki yang kehilangan akal sehat menarik paksa gantungan ‘Hamtaro’ milikku. Salah satu hadiah kak Faisal saat aku memutuskan berjilbab kelas 4 SD.
“Pergi! Pergi! Sana pergi!”. Kak Faisal berusaha mengusir orang gila itu. Tangan kanannya meraba-raba batu yang terserak di tengah-tengah rel kereta. Mencoba mengancam lelaki gila itu. Para tukang ojeg yang berkumpul di warung tenda ramai menampakkan diri. Dan ketika kak Faisal mulai mengacungkan tangan kanannya, lelaki gila itu berlari pergi.
“Hati-hati neng! kadang dia kumat galaknya!” sahut salah satu dari mereka.
Jantungku masih berdetak kencang dalam dekapan kak Faisal. Aku semakin tak tahan dengan terik yang makin menghujam. Peluh kembali menetes satu-satu dari dahiku. Kuusap dengan cepat dan..ah! ya! LKS itu! Kejadian tadi membuatku teringat akan sesuatu. Buru-buru aku melepaskan diri dari dekapan kak Faisal. Pandanganku berusaha dengan cepat menyapu sekitar. “Ah! alhamdulillah..” batinku dalam hati.
Seekor anak kucing tengah berjalan melintas di tengah-tengah rel kereta. Aku menghampirinya dengan berlari. Seperti yang kuduga anak kucing itu sontak berlari. Aku tak peduli dan terus berlari. Akan kujebak ia ke warung tenda. Kak Faisal teramat heran dengan tingkahku. Masih mematut, ia memanggil-manggil namaku berulang kali, sementara aku terseok-seok terus lari.
Tepat ketika aku akan menggiring kucing itu ke warung tenda, aku terjatuh. Kak Faisal berlari ke arahku, namun sesampainya ia padaku, dengan nafas yang tersengal aku menunjuk-nunjuk kucing itu pada kak Faisal. Kucing itu tengah bersandar pada ember cuci di gerobak milik ibu warung tenda. Ia sama ngos-ngosannya sepertiku. Nafasnya cepat, tegang, membuat badan mungilnya terguncang-guncang.
Perlahan, sambil mengendap-endap, kak Faisal menghampiri kucing itu. Ia julurkan tangannya perlahan ke kolong gerobak dan menjawil punuk si kucing. Kucing liar itu sempat meronta namun kak Faisal langsung mengusap-usap lembut kucing itu. Dan ia meleh dalam dekapan kak Faisal.
Setelah kucing mungil dalam dekapannya itu tenang ia kembali berjalan menghampiriku. Aku masih terduduk di tengah-tengah rel kereta, dan setibanya kak Faisal padaku aku menggelembungkan tawa.
“Ahaha,. Ah..yokatta,. Hahaha..”.
(Ahahaha,. Ah..syukurlah,. Hahaha..)
“E? doushitano? daijobu desuyo?” tanyanya heran.
(He? Kenapa? Kamu gak papa kan?)
“Hahaha..” aku masih tertawa. Para tukang ojeg di warung tenda sama memasang wajah heran. Aku kembali tak peduli. “Domo arigatone,.” (Terimakasih banyak ya,.) kataku seraya mengusap-ngusap lembut kepala kucing mungil itu. Ia memejamkan kedua belah matanya.
“Alya..daijobu?” kak Faisal memegang tanganku.
(Alya..kamu gak papa kan?)
“Hm m. Sinpasenaide,. Daijobu desuyo”.
(Hm m. Tenang,. Gak papa kok.)
“Dakara..doushitano?”
(Lha, terus, kenapa?)
Aku kembali melyangkan senyum ke arah kak Faisal. “Aku hanya ingin kak Faisal tahu dan yakin, bahwa jawabannya hanya masalah waktu. Bukan takkan mampu. Seperti pohon jagung, hubungan kak Faisal dan kak Yana mungkin—sama pula dengan rel kereta ini. Hanya mati suri. Masih ada harapan untuk hidup lagi. Rel kereta ini tak bertemu untuk saling melengkapi. Dan untuk saling melengkapi, kak Faisal dan kak Yana harus bertemu. Bertemu dalam artian yang lebih dekat, bertemu dari hati ke hati. Supaya beban berat dapat terasa ringan terpikul di atasnya layaknya dua rel yang terbentang ini”. Aku tersenyum lagi. Diam sejenak untuk memandang lekat-lekat wajah kak Faisal kakak lelakiku. Ada genangan di sudut matanya.
Kupegang erat-erat tangan kiri kak Faisal, kemudian kembali melanjutkan bicara
“Dan dengan cara yang sama kak Faisal mendapatkan hati kucing liar itu, dengan cara yang sama pula kak Faisal mendapatkan hati kak Yana. Sungguh, Al tak melihat kak Faisal telah kehilangan cara..” aku meyakinkan. Kali ini kak Faisal menarik senyum. Aku membalas senyum. “Kak Faisal tahu aku gila kucing kan? membuat kucing melting padaku bukan hal yang terlalu sulit..si Belang contohnya. Hahaha..iya kan? dan demi kak Faisal hari ini Al sudah jadi dukun yang bertindak. Udah! lepasin kucingnya! bukan muhrim! ntar Al laporin kak Yana baru rasa!”. Kak Faisal mencubit gemas pinggangku.
“Aaaa…iiiiitaiiiiii”.
(Aaaa..sakiiiiitttt)
Mataku hampir terpejam kala suara pintu berderit kembali menarikku untuk tersadar. “Kodok!”. Suara kak Faisal. Aku mendelik sebal. Sudah kubilang berulang kali pada makhluk jangkung satu itu bahwa aku penyuka kucing, bukan kodok. Yang dideliki sontak duduk di samping tempat tidurku tanpa diminta.
“Belum tidur?” tanyanya basa-basi. Raut wajahnya sedikit berseri-seri sambil memutar-mutar ponsel. Aku bangun dari tidur dan kurebut ponsel itu dari tangannya.
“Ciee..habis telfon kak Yana ya?” aku menyelidik.
“Siapa bilang? Sok tahu..”
“Terus, ‘Yana ku cinta’ ini buktinya apa?” aku menunjukkan bukti panggilan keluar pada kak Faisal. “perasaan kemarin-kemarin gak ada…”
“Kodok! Cerewet! Balikin hp nya!”
Sontak aku membenamkan diri dalam selimut.
“Heh! Kodok!” teriak kak Faisal gemas. Ia baru akan menggelitikiku saat matanya melihat si Belang. “A…atau aku adukan pada ibu kamu coba-coba tidur lagi sama si Belang!”. katanya puas. Mendengar ia berkata seperti itu aku keluar dari tempat persembunyian.
“Huh! Dasar nyebelin! Nih!”. Kuserahkan ponsel itu kembali ke tangannya dan mendorongnya ke luar pintu.
“Ee eh..Al…jangan di tutup dulu..”.
“Apa?!”
“Tadi siang kamu belajar darimana bisa ngomong kayak gitu?”
Tak kujawab pertanyaan terakhirnya. Kudorong kak Faisal sampai batas terluar dan dobel ku kunci pintu. Kupadamkan lampu dan kuhampiri si Belang. Sebelum mataku benar-benar terpejam kulirik tualet kaca di samping jendela. Tersenyum penuh makna pada LKS yang tergeletak di sana. Tersenyum pada sebuah narrative di dalamnya.

Src

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *