Dua belas hari #15
Dua belas hari. Bagian lima belas.
Kinsia Eyusa Merry
Hei, Jil. Sepertinya mulai besok aku tidak akan sering-sering mengadu merengek melapor berbalas email denganmu lagi. Ini memang kenyataan yang pahit, tapi kau harus belajar menerimanya.
*sorakan lega Jil dari kejauhan*
Setelah menerima surat yang mengejutkan tersebut, aku duduk diam di sofa. Alyo masih di luar untuk beberapa lama, lalu akhirnya masuk dan duduk di sebelahku. Demi memperjuangkan kejelasan nasib, aku harus bicara.
“Masa saya tinggal sendirian disini? Kan creepy”.
Alyo mengernyit. “Ahahaha, enggaklah Kaliiin. Barusan saya reserve tempat di rumah Bapak. Malam ini juga Sasti move out dan mulai besok kamar kamu sepenuhnya kembali jadi milik kamu”. Ia pura-pura tersenyum, senyum yang justru menyiratkan kegalauan to the max.
“Jadi rumah ini ditinggal selama enam bulan? Nanti pas mau ditempatin lagi jangan-jangan udah berdebu, banyak laba-laba, dan creepy”.
“Saya udah minta tolong Pak Lam dan Pak Pur untuk bersihin rumah dan mantau keadaan tiap dua minggu sekali”.
“Siapa tuh?”, selidikku.
“Itu lho, yang bantu-bantu di rumah Pak Atase, kan kamu pernah ketemu”.
Nahloh. Pertanyaannya habis. Berpikir Kalin, berpikir.
“Oh! Bentar lagi kan apotek hidup kita mau panen, masa dibiarin aja? Nanti tanamannya mati semua, jadi creepy”.
Oke, yang satu ini mulai kedengaran non-sense.
Alyo tertawa. “Ada apa sih sama kamu dan kata creepy? Saya udah pesen sekalian sama mereka, yang di kebun tolong disiramin, kalau udah panen hasilnya dikirim ke rumah kamu. Ada lagi nyonya?”
Waw. Tampaknya he has taken care of everything. Tidak ada lagi alasan yang bisa menahannya. Aku menggeleng pasrah, berjalan lunglai menuju tangga. “Saya naik dulu ya. Good night”.
Tepat ketika aku menaiki anak tangga ketiga, Alyo memanggilku dramatis. “Kalin tunggu!” Diam-diam aku berkhayal; semoga ia akan mengangkutku ke Amrik. Plis. Plis. Kupalingkan kepala.
“Nanti kalo udah mandi dan sholat isya, kamu turun lagi ya”.
“Supaya?”
“Saya nggak mau ada yang left unsaid. Malam ini kita begadaanggg!!! Yang ada perlunya!!!”, Alyo berteriak mengagetkan, telunjuknya terangkat ke udara. Aku melongo.
“Masa nggak tau? Lagunya Bang Rhoma! Begadang jangan begadaaaangg, bila tiada artinyaaaa. Begadang boleh sajaaa kalau ada perlunyaaaa……”.
“Oke”. Aku terbirit-birit lari ke atas, masuk kamar, tutup pintu, dan tertawa jumpalitan di kasur sampai sepraiku tercabut. Bhahahahahhaha. Seandainya tadi direkam, Jil. Betapa aku belum pernah mendengar cengkok dangdut se-maksa itu.
Saat aku turun, di meja makan telah terhampar segala snack-snack dan minuman ringan. Rupanya Alyo membongkar persediaan mingguan di kulkas, yang ironisnya baru kami beli kemarin. Ia menyuruhku duduk berhadap-hadapan.
“Ini bolpen, ini kertas. Tuliskan semua pertanyaan, unek-unek, wishes, if only, apapuuun yang selama ini kamu pendam. I’ll write mine, too”, dikibarkannya selembar kertas HVS di depanku.
Sepuluh menit selanjutnya, yang terdengar hanya coretan bolpen.
Sepertinya ada banyak, ya, yang terpendam?
“Selesai!”, aku meletakkan bolpenku.
“Selesai!”, ia menyusul. “Tunggu sebentar”. Segera saja Alyo sibuk memasang handycam dan tripod, dengan fokus diarahkan ke mukaku. Apa-apaan? Aku melotot, menandakan protes. Alyo balas melotot. “This is part of the game. Lanjut”, katanya galak.
“Baiklah. Satu, a wish. I want to be closer to your family”.
“Hmm”, Alyo mengangguk. “Sayangnya seminggu setelah resepsi mereka udah harus balik ke Jordan ya. Tapi tenang aja, Pak Atase tahun depan pensiun kok”.
“Lebaran tahun ini masa Ayah sama Ibu kamu nggak pulang juga?”
Ia mengangkat bahu. “Biasanya sih enggak. Lebaran itu justru saat-saat tersibuk KBRI; semua pejabat bikin open house, bikin opor, bikin ketupat, silaturahmi sama rakyat Indonesia yang tinggal atau kerja di sana”.
“Hooo. Alright. Dua, a question. Ayah sama Ibu kamu orangnya gimana sih? Kenapa kamu selalu manggil ayah kamu Pak Atase?”
Alyo mereguk sebotol minuman teh rasa apel sebelum menjawab.
“Ayah saya orangnya wibawa, kaku, serius, susah diajak bercanda. Semua orang manggil beliau Pak Atase, jadi saya ikutan aja manggil beliau kayak gitu. Ibu saya, lebih lively, sadar mode, ketat soal makanan, takut melar, haha. Ibu kalau udah suka sama orang, maka cenderung banyak maklumin. Kakak Ipar pertama saya, istri Mas Alif, cantik banget, lembut, tapi nggak tahan debu. Ibu nggak pernah nyuruh dia bebersih. Kakak Ipar kedua, istri mas Aldi, mukanya ayu ala-ala puteri keraton, jago bikin kueh, tapi susah makan. Sama Ibu dicariin suplemen, susu, sampe jamu untuk nambah nafsu makan. Kakak ipar ketiga, istri mas Alga, putih banget kayak orang Jepang, pinter, wanita karir, dermawan minta ampun, tapi nggak bisa masak. Dia diajak Ibu kursus ke temen Ibu yang punya catering, Bu Darso, sampe jadi bisa”.
“Uwah enak amat”, aku mengangguk tenang sebelum terpikirkan sesuatu. “Kalo… nggak suka?”
Alyo tersenyum simpul. “Kamu masuk kriteria Ibu, kok. Daridulu favorit ibu ya yang cantik-cantik oriental”.
Ahe. Pujian terselubung 😛 Mukaku berseri-seri.
“Oke, tiga, another question. Gimana kamu bisa kenal Bapak? Kenapa mau aja dijodohin? Bapak kok bisa suka sama kamu sih? Kamu kan imejnya dulu anak band; rambut dicet, pake tindik, sekolah musik pula, ckck”.
Alyo berpikir sejenak. “Eh loh saya-nya kapan?”
“Nanti gantiaaannn!!”, kupasang muka cemberut. Alyo pun mengalah.
“Bapak kan dulu pernah jadi ketua PPI cabang, nah saya wakilnya. Karena sering rapat, seminar, diskusi, bikin acara, sampai pergi-pulang ke Indonesia bareng, akhirnya jadi akrab. Dulu saya manggil beliau Pak Agung”.
“Terus?”
“Giliran saya”, Alyo melet iseng. “Kenapa kamu suka minum susu low fat?”
“Supaya nambah tinggi. Hidup itu harus optimis”, aku nyeletuk asal. Ia terkekeh.
“Gimana cara kamu menakhlukkan bapak? Bapak kan dari dulu anti banget sama imej anak band”. Cepat, kuserobot pertanyaan berikutnya.
Alyo menghela nafas, seolah bersiap mengatakan sesuatu yang serius. “Kalin, saya udah lama mau ngaku, tapi ceritanya panjang”.
“I’m listening”, potongku tak sabaran.
“Suatu hari, pas saya lagi liburan di Indo, Pak Agung nelfon. Katanya minta tolong jemput di bandara, soalnya mau kasih surprise untuk ulangtahun anak bungsunya, Icha. Eh, di depan rumah Pak Agung saya liat ada cewek dengan muka bangun tidur, rambut semi-singa, pake piyama, lagi asik nyuci mobil dan langsung ngacir ke dalam rumah begitu nyadar ada mobil ‘asing’ parkir di dekat pagar”.
Yaampun! Itu kan aku Jil! Creepy banget! Terungkaplah sudah first impression Alyo tentangku. CHAOS. SEMI-SINGA. PIYAMA. OH, it couldn’t be worse.
“Tapi percaya atau enggak, ever since that day, I’ve been falling for that girl”.
JENG JENG JENG. Alyo meraih sebungkus cookies dan menyobek bungkusannya, mencoba menghindari pertentangan mata. Aku tercekat, dalam hati yakin sekali pengakuan Alyo belum selesai sampai di sini.
“Sejak peristiwa itu, setiap kali Pak Agung cerita tentang anak sulungnya, misalnya pas nonton bola atau pas makan bersama, saya dengerin baik-baik. Dari cerita Pak Agung, kayaknya, kayaknya nih ya, si anak sulung yang berambut singa itu menarik sekali. Bandel, ngeyel, spontan. Beda banget sama saya, yang seumur-umur selalu dibiasakan teratur, nurut, terencana. Sekali dua kali, saya merhatiin si anak sulung itu dari jauh, waktu dia nganterin ayahnya ke bandara. Dia pernah meluk Pak Agung sambil nangis, nggak peduli orang ngeliatin. Udah gitu keukeuh lagi bawain koper Pak Agung yang segede apaan tau. Yang anehnya, saya merasa udah kenal lamaaaa sama dia”.
Benar-benar creepy, Jil. Aku saja nggak pernah sadar ada Alyo disekitar situ.
“Karena saya selalu antusias dengerin cerita Pak Agung, terutama part kelakuan dan keaneh-bin-ajaiban anak sulungnya, beliau sering banget ngeledekin, ‘hayo, mas Alyo naksir ya, sama anak saya? ihiw ihiw saya jodohin ah’.”
Hah? Ihiw ihiw saya jodohin ah? As expected dari Bapak (-__-)”
“Lama-lama pembicaraannya jadi serius. Saya, saya, memberanikan diri…”
Long pause. Klimaks. Alyo berpura-pura sibuk mengigiti astor. Kepalanya menunduk.
“Ngelamar anak sulung Pak Agung, yang namanya Kalin, yang ngobrol properly pun belum pernah”.
Minute of silence. Ending. Tangan Alyo meraih bungkusan kripik Kusuka, berusaha menyembunyikan kegugupan.
“Pak Agung bilang, keputusannya ada di Kalin. Beliau akan mengirim anaknya itu ke Seattle selama dua belas hari dengan kedok perjodohan, —beliau kenal betul watak Kalin— kalau dalam dua belas hari itu ada yang tidak sesuai dengan kehendaknya, maka sekeras apapun pak Agung memaksa, Kalin nggak akan mau dijodohkan”.
Tapi Kalin tidak menolak karena hatinya tidak menolak.
Why couldn’t I figure it out, Jil?
“Oh iya, reputasi saya di Seattle itu A plus lho, ahaha. Baik, sholeh, sopan, santun, ganteng”, matanya melirik jahil. “Dan seumur-umur saya nggak pernah ngecet rambut dan nindik telinga. Cuma saya pikir, selama dua belas hari itu, daripada saya manis-manis dan kamu mengiyakan karena ‘the sweetness of me’, lebih baik saya jadi anak band yang cuek, datar, nggak pedulian, being the worst that could be, supaya kamu bisa berpikir lebih… objektif, mungkin? Nggak tau ah pokoknya saya nggak mau kamu ngerasa tertipu”.
Finished. Alyo kembali mereguk teh apel.
“Woah, a long story it is”, komentarku singkat. Ditatapnya aku penuh kekhawatiran.
“Kamu, nyesel?”, tanyanya.
Aku hanya perlu dua detik untuk menggeleng yakin. “Terimakasih”.
“Untuk?”
“Semuanya”.
Kami diam lama dalam suasana yang cheesy cheesy dan mushy mushy.
“Sekarang gantiaaan. Masa dari tadi saya baru satu pertanyaan?”, Alyo mengerutkan mukanya, membuat ekspresi kesal yang kocak. “Pertanyaan kedua. Kamu masih komunikasi sama Jil?”
Oow, kita ketauaaaan.
“Masih”.
“Sering?”
“Tergantung, kadang sebulan sekali, seminggu sekali, pernah juga tiga hari berturut-turut”.
“Lewat telfon?”
“Email”.
Aku menunggu reaksinya. Bodooooh, sepertinya malam ini akan rusak lagi.
“Saya juga tiap minggu email-email-an sama Chae Rin”, Alyo berujar lempeng.
“Tiap minggu? Kamu cerita apa aja di email? Kan dia udah nikah? Suaminya nggak marah?”, aku memberondongnya dengan nada terganggu. Kucomot kripik Kusuka dan kukunyah seenaknya.
Alyo tidak menjawab. Dia nyengir lebar, dan aku mengenal evil smirk itu. Tampaknya aku dijebak T__T Dia mana pernah email-email-an sama Chae Rin. He just wanted me to know how it felt to be on his shoes.
“Iya iya, saya kurangin, sebulan sekali? Satu sms? Important updates? Ya ya?”
Alyo mengangguk puas. Hah, aman! Di list-ku tersisa satu permintaan.
“Terakhir, a wish. Saya pengen liat dong, fotonya Chae Rin”.
Dengan wajah bingung Alyo beranjak mengambil laptopnya. “Ini, yang baju ungu”.
Dia menunggu reaksiku.
“Kok… nggak mirip SNSD?”
“Huhahhahahhahahahahhaha”.
Alyo tertawa sampai memukul-mukul meja sehingga botol yakult berhamburan ke lantai. Aku ikut tertawa berguling-guling —menyadari kekonyolan pertanyaan dan persepsiku— hingga bungkusan cookies yang telah dibuka Alyo berserakan isinya.
“Your next wish, Sir?”, tanyaku setelah tawa kami reda.
Alyo menunjuk ke arah handycamnya. Yang sedari tadi sudah di set merekam ke arah mukaku. Yang berarti mengabadikan the moment of truth. Yang masih recording, dilihat dari lampu merahnya yang berkedip-kedip.
“Itu… cadangan energi”.
…
…
Satu sms perbulan, Jil. Jatahku untuk curcol padamu.
Mungkin akan kugunakan besok. Atau lusa. Atau akhir bulan.
Walaupun selama ini kau pelit balasan, terimakasih ya Jil, telah mau-maunya menampung segala sampah, baik organik, anorganik, maupun plastik yang sulit dihuraikan. Saranghae!
Sincerely, Kalin si cadangan energi.