Dua belas hari #14
Dua belas hari. bagian empat belas
Kinsia Eyusa Merry
Jal. Jil. Jul.
Ah, Jil, namamu tidak enak dijadikan tiga syllable. Tidak seperti Kan Kin Kun, Al El Dul atau Ba Bi Bu. Oh ya, bagaimana flunya? Sudah mendingan? Kan sudah kubilang, obat terbaik untuk flu-mu adalah menghirup kepulan asap sup yang baru matang. Apalagi kalau sup itu aku yang buat. Pasti Manjur, rek! Hihihi.
Jil, hari ini aku curcol panjang lagi ya, seperti biasa. Apakah kau sudah lelah mendengarkan? Yah jangan dong. Anggap saja semua ceritaku real-time lesson yang bisa kau praktekkan di kemudian hari.
Kudengar dari mamamu, kau dan Dina, sudah sangat serius. Ayo, kapan diresmikan?
Eheheheheheh. Ternyata emang enak jadi senior 😛
Kita mulai cerita hari ini dengan pertanyaan: kenapa a meant-to-be perfect day selalu dikacaukan oleh twist BESAR di ujung hari?
Kemarin sepulang kuliah, aku dijemput Alyo.
Mukanya berbinar-binar, giginya bersinar-sinar.
Usut punya usut, ternyata ia dan beberapa temannya, berhasil memenangkan proyek soundtrack film berskala nasional. Filmnya tentang seorang pemuda bernama Lisut, hmm, Lisut adalah bahasa melayu untuk loyo, kalau tidak salah, yang bekerja dengan rajin di sebuah toko sepatu sambil pelan-pelan menabungkan uangnya. Dalam lima tahun, terkumpul 18 juta lima puluh ribu rupiah. Ia langsung mengundurkan diri dari pekerjaannya, dan menebus mimpi yang membuatnya rela diperbudak di toko sepatu itu: menjelajahi Indonesia dari ujung ke ujung. Bermodal jempol untuk menyetop dan menumpang kendaraan lewat, kamera digital, serta beberapa lembar baju dan jaket tebal, ia memulainya dari kota Sabang. Penjelajahan lisut memang terhenti di bandar lampung, sebuah kejadian memaksanya kembali ke Jakarta, tapi sepanjang perjalanan lintas sumatera itu, Lisut merasa, ia dan Indonesia sudah jauh, lebih saling mengenal.
Keren kan, Jil, reviewnya?
Yo jelas, wong aku ketik ulang tumplek blek dari sinopsis yang dibawa pulang Alyo,
ahahahahaha. *jadi jawa gini*
Yang jelas Alyo akan mulai riset, ikut proses syuting untuk mendapatkan mood, dan mungkin-mungkin, meski harapannya kecil, akan ditarik jadi figuran.
Berhubung akan kelimpahan rezeki, Alyo mengajakku makan di atas gedung. Makanannya tidak enak, kemahalan, tapi viewnya sumpah bagus banget. Sepulang dari restoran atas gedung, aku menegurnya hati-hati, takut dia tersinggung.
“Alyo, lain kali kalau ada special occasion kayak gini, lebih baik kita beli bahan-bahan trus masak bareng aja. Satu, quality time, dua, bisa bagi-bagi tetangga”.
Saat menyebut Quality time, sejujurnya aku merasa tua dan keartis-artisan. Itu kan kata-kata yang selalu nongol di wawancara program gosip? Entahlah. Kayaknya aku mabok infotainment.
Alyo melotot. Tergambar ekspresi, “Uwooh” dari keningnya yang berkerut.
“Uwooh!”, ujarnya setengah berteriak. Tuh, kan.
“I didn’t even think of that! Genius, Kalin!”, sebelah tangannya terangkat di udara. Minta High-Five. Aku menepuk telapak tangannya kuat-kuat.
“Yeah, awesome!”
Uhuy. Serasa anak gahul Amerika.
“Now that I know I have such a wise wifey, I love you more”, dia menjulurkan lidah.
Ewww, cheesy. HAHAHAHAHA.
Maaf ya, Jil. It wasn’t meant to rub salt on your wound 😀
“Hari ini ke rumah Bapak, yok”, ajakku. Alyo mengangguk cepat.
“Tapi kita musti bawa oleh-oleh, apa kek, buah atau makanan ringan”, ia memberi saran.
Kesempatan.
“Now I know that I have such a well-mannered hubby, I love you more!”
Alyo bersemu, kayak baru pakai blush-on.
Aku ikut bersemu, kayak hamster kebanyakan nelen kuaci.
Begitu sampai di rumah Bapak, kami disambut duo Bapak dan Ibu yang lagi belajar nganyam tikar. Ini ada angin apaa? Aku mencium Ibu dan menyalami Bapak. Alyo memeluk Bapak dan mencium tangan Ibu (unimportant detail, hihi). Mereka berdua menjelaskan asal-usul penganyaman tikar tersebut.
“Ini Bapak mah ikutan aja, pulang kerja langsung ditarik suruh bantuin. Kemarin pengajiannya Ibu didatengin pengrajin tikar. Karena tertarik banget pengen nyoba, jadi bahan mentahnya dibeli deh sama si Ibu”.
Ibu mesem-mesem. Dulu Ibu senang merajut. Dilanjutkan dengan bikin gelas-gelas dari tanah liat. Ada lagi musimnya ngejahit manik-manik buat hiasan jilbab. Pas kalung lagi hip, Ibu bikin kalung-kalung kreasi pakai batu alam dan potongan marmer. Ckckck, mengutip pujian bapak, Ibu sungguh kreatip.
“Hihihi, kita ini harus terus berkarya”, argumen Ibu singkat dan padat.
Aku dan Alyo mengangguk-angguk. Segera saja Ibu masuk ke kamar dan keluar lagi dengan beberapa contoh anyaman yang sudah jadi dan bahan-bahan untuk menganyam. O-ow. Sepertinya Ibu bahagia dapat tambahan karyawan; Aku dan Alyo.
Kami menganyam dengan tekun sambil berbincang-bincang santai sampai maghrib. Alyo dan Bapak lalu berangkat sholat maghrib di mushola sebelah, dan selepas isya, kami diajak bergabung makan malam di rumah. Wuhuu, oseng tempe Ibu tiada duanya! Aku harus mencuri resep rahasia itu, errr, kapan-kapan.
Pukul sepuluh malam, kami undur diri. Rencananya malam itu mau nonton midnight, karena besok sabtu dan aku tidak ada kuliah, tapi pulang dulu, mandi dan ganti baju.
Belum sempat masuk rumah, Alyo termanggu di depan kotak pos.
“Kenapa? Surat apa? Tumben banget ya ada surat”, aku penasaran.
“Permohonan postpone saya ditolak”.
“Permohonan… apa?”
“Postpone”.
“Yang artinya?”
“I have to go back to Seattle by this Monday”.
“How long you’ll be staying there?”
“A semester. I mean, around five to six months”.
Tau d’massiv kan, Jil? Kemarin di radio diputar salah satu lagu terbaru mereka. Aku ingaaaat sekali reffnya yang menyayat-nyayat.
Jangan pergi…
Jangan pergi…
Jangan kau pergi,
ku tak ingin sendiri.