Dua belas hari #6
Dua belas hari. bagian enam.
Kinsia Eyusa Merry
Jil, mau tahu sifat bapak yang paling mengkhawatirkan?
Sudah tahu ya? Belum kan? Belum ah? Ya anggap saja belum. Beliau suka sekali membeberkan apapun tentang aku, —kebiasaan, jajanan, tontonan, sampai kegiatan harian—, ke orang “baik” yang beliau temui di manapun. Pernah di kantor pos, seorang lelaki muda berjaket parasut membantunya memasang perangko. Bapak begitu tersentuh sampai-sampai lelaki itu dibawa ke rumah! Disuruh masuk, dihidangkan makanan. Dan waktu aku pulang kuliah, si abang-abang yang telah berjasa tersebut nyeletuk seenak perut, “Oh ini toh anaknya yang juara silat. Nggak nyangka cantik-cantik gahar, hahaha”.
Jil jil, sudah menebak ya, kemana arahnya?
Tentu saja. Alyo mendapat keuntungan dari niat baiknya mengantar bapak sore kemarin. Sepanjang jalan sepertinya bapak membongkar kartu, memaparkan strenght, weakness, opportunity, dan treat, untuk menghadapi aku. Terutama aku yang sedang jelek adat, atau aku yang sedang malas mandi.
Jadi sepulang dari rumahku, Alyo membuka pintu dengan penuh percaya diri, merasa memiliki senjata terisi penuh. Dia bahkan masuk rumah bersiul-siul, lalu mengetuk kepalanya sendiri karena sudah larut malam. Bingung ya? Menurut Alyo, bersiul malam bisa memanggil ular. Alyo itu superstitious, Jil. Dia percaya kalau kita sedang menyapu lalu ditinggalkan sebentar, lantas orang lain yang tak sabaran mengambil sapunya dan melanjutkan pekerjaan tersebut, maka orang yang kita cintai akan direbut oleh yang merebut sapu. Konyol. Haha.
Aku pura-pura menonton tivi dengan volume tinggi, entah sinetron apa yang jelas mata ibunya kalau melotot besaar sekali. Alyo duduk di kursi dadu sebelah tivi, menirukan mimik muka si ibu-ibu galak yang matanya besar itu, dan aku aku aku menyerah. Aku tertawa berguling-guling. Bapaaaaak, ini salahmu, Pak.
“Kalin, kamu boleh marah tapi tidak boleh menolak”, ujarnya serius ketika aku (akhirnya) berhenti tertawa.
“Kapan saya marah?”, aku sengit. Kau kenal aku, Jil. Melawak saja tidak pernah cukup untuk mencairkan egoku.
“Kamu tidak marah?”, matanya besar lagi. Ekspresi badut, mulut monyong, gigi depan agak maju, lawakan standar, tidak mempan.
Aku baru akan mendebat ketika dia berteriak menggelegar,
“Alhamdulillaaah! Saya pikir kamu marah!”.
Dia berdiri lega lalu ngeloyor ke arah studio mini. Ini sih bukan bodoh Jiil. Ini, ini, tolong carikan kata apa yang tepat untuk menggambarkannya. PR, oke?
“Apa yang nggak boleh saya tolak?”, aku penasaran juga.
“Island hopping, karimun jawa, lusa?”, dari jauh intonasinya terdengar takut-takut.
“Bapak ikut?”
“Bapak, Ibu, Sasti, Ica”.
Liburan Keluarga, Jil. Siapa bisa menolak?
“Asal, kalau besok-besok masak lagi, saya kasih list dan kamu aja yang pergi belanja. Urusan masak serahin ke saya”, ternyata setengah harian ini alam bawah sadarku mencari solusi.
“Akur!”, Alyo menyambut kesepakatan itu dengan riang gembira. Dia mendekat menawariku toss. Kusambut toss-nya tapi kutarik cepat dan dia menepuk angin.
“Bahahahahahahahahahahahaha”.
“Bhahahahahahahahahahahahaha”.
Pretty good laugh we shared.
PS : Kalau mobil masih muat tadinya aku ingin mengajakmu. Sayang, kami pasang empat di jok belakang :p
Adios, Jil. Terumbu karang menanti.