story

Dua belas hari #6.5

Dua belas hari. bagian enam setengah.
Kinsia Eyusa Merry

Jil, dengan ini aku resmikan bahwa petualangan ke karimunjawa kemarin; gagal total. Berarti terumbu karangnya juga gagal. Tiket pesawat ke semarang gagal dipesan. Penginapan gagal di book. Memang benar kata orang. Liburan dadakan dan tanpa rencana, tidak akan berhasil kalau tempat wisata yang dituju sepopuler KarimunJawa.

Padahal aku sudah mengkhayalkan serunya snorkeling dan diving, lalu bermain bersama ikan nemo, bintang laut, bulu babi. Island hopping. Mabuk laut. Aroma ikan bakar segar. Hotel terapung. Berenang dan berjemur sampai punggung perih. Argjhaskdjhaksjdha. Baiklah Jil, sepertinya kami memang harus mengajakmu lain kali. Kau kan semacam, benda keramat? 😛

Sebagai penghibur hati, Alyo mengusulkan sebuah liburan nostalgia ke Bandung. Heh, jangan tertawa. Bapak dan Ibu kan dibesarkan di sana. Lagipula aku memang sedang perlu persediaan kaus oblong dan jeans bagus. “Saatnya berburu”, ujarku pada Ica yang kelihatan kecewa.

To make things worse, Bapak malah menelpon Om Erwin dan mengabarkan persetujuan beliau untuk memberi tumpangan di rumahnya di daerah Lembang. Oh, tidak. Ini tidak bagus. Hebatnya lagi, Om Erwin sendirilah yang akan memimpin liburan agrowisata ke kebun strawberry, kebun teh, kebun sayur-sayuran segar, mungkin sambil memanennya —kata Bapak antusias—, dan jalan-jalan “turun” ke kota. Couldn’t ask for more, kan Jil?

Sasti tiba-tiba banyak tugas dan harus tinggal di rumah. Dia berencana membawa dua atau tiga sahabatnya untuk menginap menemani, dan berjanji tidak akan tidur lewat dari pukul satu. Percaya kok, Sas. Untung Ica termakan persuasiku. Lagipula, DSLRnya sudah lama nganggur. Lebih baik dipakai untuk memotret aku dan Alyo berpose ala petani di perkebunan teh. Tema fotonya: Pasca-Wedding. Hahahahaha. Tidak lucu -,-

Tertular antusiasme Bapak, Alyo sibuk sekali mempersiapkan keberangkatan kami. Dia mengecek kondisi mobil, membawa selimut-selimut tebal yang dulu diboyongnya dari Seattle, meminjamkanku coat cokelat yang waktu itu, yang kereen sekali itu, dan membeli beberapa pack coklat panas bubuk. Aku terheran-heran dan memberanikan diri bertanya, “Alyo, kamu sudah berapa lama nggak ke Bandung?”

Alyo, yang sedang berkutat di ruang tengah, memasukkan barang-barang yang telah ia persiapkan ke kardus kecil bekas air mineral, menatapku dengan waspada. Aku tahu ia memikirkan sesuatu.

“Memangnya ada apa di Bandung?”, aku memperjelas pertanyaanku.

Ekspresinya berubah. Setahuku, itu ekspresi campuran antara panik dan ketakutan.

“Memangnya, ada siapa di Bandung?”

Entahlah. Mengikut naluri, seharusnya aku curiga dia menyembunyikan sesuatu, atau seseorang, atau memori lama, di kota yang dibilang Parijs van Java itu.

“Mantan saya”.

Jawaban Alyo membuatku tercekat, dan bingung. Aku tidak perlu dia terus terang. Jangan doong, jangan. Jangan sekarang buka-bukaannya. Aku belum siap mengetahui kalau-kalau, anak “musik” seperti Alyo, punya kisah “musikal” seperti bang jagoan yang sering masuk tivi bareng luna maya.

“Mantan istri saya”.

Sensasi naik kora-kora seketika muncul. Aku mau muntah. Beneran, Jil. Kenyataan macam apa ini?

“Mantan istri saya, sekarang di Amerika. Dulu kami ketemu di Bandung, mabuk cinta, tiba-tiba buat keputusan untuk nikah. Dia akhirnya bosen sama saya, saya bosen sama dia. Dia balik ke sana, fell for Tedd Mosby, dan sekarang jatuh ke pelukan Barney Stinson, temen SMA saya. Life sucks, yeah?”

Aku mengumpulkan kesadaran untuk berkomentar. Liburan ke Bandung tiba-tiba tidak menarik. Dunia suram. Aku merasa ditipu. Tertipu. Dan masuk tipuan. Memanggilnya “kamu” saja rasanya tidak pantas, terlalu sopan. “Tragis banget love-life lo”, balasku sok simpati.

“Gitu deh. Robin, Scherbatsky. Bahkan namanya aja kalo disebut masih terasa seksi”, Alyo mengawang, tangannya berhenti mengepak barang.

Kupingku panas, dadaku panas, hatiku panas, dan Bandung mendadak panas. Aku pamit naik ke atas dengan suara parau dan nada tak berdaya.

“Kalin, kamu tidak pernah nonton How I Met Your Mother?”, tanyanya, out of nowhere.

“Tidak. Belum. Dan akan segera, kalau ada yang mau minjemin satu set dvd season pertama”.

“Kalau begitu kasihan banget. Saya boongin aja, kamu sampe pucet gitu. Saya bohong, Kalin. Sumpah, saya bohong. Eh, bohong kok pake sumpah ya? tapi pokoknya saya cuma becanda. Robin Scherbatsky itu tokoh cewek yang paling cantik di HIYM. Garing kan? Maafkanlah kakanda, duhai adinda”.

PLETAK. Mainan ikan-ikanan kayu yang terpajang di meja ruang tamu, menghantam kepala Alyo keras. Aku hilang kendali Jil, seperti biasa. Untuk beberapa detik Alyo diam di tempat, shock, dan mulai mengaduh dan sambil meraba jidat. Ternyata sudah ada luka menganga yang pasti perih.

“Ya ampuuun, maaaaaaf”, aku kaget dan buru-buru lari ke atas, mencari betadine atau alkohol untuk menanggungjawabi ketololanku.

Aku turun dua menit kemudian. Alyo masih di tempat. Lukanya berdarah. Aku duduk di sofa.

“Sini!”, sudah melukai orang, aku masih saja galak. Payah. Kutarik kepalanya mendekat. Lukanya terpegang, ia mengaduh lagi. Aku menyuruhnya berbalik menghadapku. Kami berhadapan. Lukanya semakin lebar, selebar senyumnya yang tiba-tiba merekah. Gawat. Kayaknya Alyo kena gangguan. Aku cepat-cepat membersihkan luka menganga hasil kerja mainan kayu itu dengan alkohol.

“Nama saya siapa yaa? Oh nana, what’s my name? Oh nana, what’s my name?” Bener Jil, Alyo mulai gila.

“Kalau becanda jangan kaya tadi dong. Saya kaget beneran, untung nggak pingsan. Saya pikir kamu emang punya masa lalu kelam”, aku mengaku.

“Iya maaf ya. Saya sebenernya cuma mo ngalihin pembicaraan”, ujar Alyo innocent.

“Hah? Yang mana? Pembicaraan yang mana?”

“Ini lho, anu”, dia menggaruk tengkuk.

“Apa yang anu?”

“Sayaa.. jangan bilang-bilang orang yaa, janji?”

“Iyaaaa!!! lama deh!”, aku tak sabar.

“Saya, seumur-umur, belom pernah ke Bandung”.

Krik. Krik. Krik.

Bapak harus tahu.

POKOKNYA BAPAK HARUS TAHU.

HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.

PS: Akhirnya aku dan alyo benar-benar foto pasca wedding lho, di kebun stroberi, di atas bendi, di toko jeans, dan di depan gedung sate, seperti wisatawan katro. Parijs Van Java. Mungkin ada benarnya, segala yang berhubungan dengan Paris, akan seketika jadi romantis :p

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *