story

Dua Belas Hari #3

Dua belas hari. bagian tiga.
Kinsia Eyusa Merry

karena kami perlu waktu

Jil. Kau memang benar-benar idiot. Siapa yang menyuruhmu potong rambut model begitu, hah? Jelek. Dan aku bilang jelek sambil menggeleng ekstrim.

Aku senang kau dan Alyo bisa berpelukan seperti teman di resepsi tadi. Aku senang karena Bapak kelihatan sangat senang. Aku senang karena Ibu puas dengan makanan dan jasa katering yang kupilih. Dan aku senang karena akhirnya kau bertanya, “Heh, Kalin, tidak melawan Bapak lagi?”

Kau tahu kan Jil. Selama dua puluh satu tahun ini, aku sudah ribuan kali menolak tawaran beliau. Mengecewakan beliau. Bahkan melarikan diri dari rumah beliau. Untuk perjodohan konyol ini, Bapak mematahkan egoku dengan dua kata; Sekali ini. Aku takut kalau Bapak sudah bawa-bawa “sekali ini”. Sama menakutkannya dengan pertanyaan “kapan lagi”.

Perlukah kuceritakan apa yang terjadi selepas resepsi?

Tenang, Jil. Tidak ada apapun yang masuk kategori censored. Haha. Menjelang malam, aku diantar ke rumah Alyo oleh keluarga besar. As expected, kamar utama sudah mereka hias sedemikian rupa. Lengkap dengan wangi bunga dan lilin-lilin, oh please. Rumah Alyo ternyata cukup besar. Tiga kamar ukuran sedang, satu studio mini, dapur, ruang makan, dan garasi.

Ketika semua orang pulang, aku dan Alyo mengintip kamar utama. Setelah berpandangan canggung beberapa lama, kami berdua terbahak-bahak dan Alyo menyimpulkannya sambil mengedip bercanda;

“Well, we need some more time, right?”

Lalu ia membukakan kamar satunya lagi. Melompong. Hanya diisi tempat tidur, meja, dan kursi. Diangkutinya barang-barangku dari bawah, dan disuruhnya aku cepat pakai jaket. “I want you to greet my lovely studio”.

Seingatku kau pernah bisa main gitar kan, Jil? Ngeband bersama Adit? Studio mini Alyo jauh lebih canggih dari studio sewaan kita waktu itu. Dan lebih besar! Namanya saja yang sok mini. Kami mengobrol semalaman, dia nyambi mengerjakan proyek theme song acara quiz di tivi, dan aku ketiduran di sofa studio.

Subuh sekali —baca baik-baik karena ini bagian penting— Alyo membangunkanku untuk menguncikan pintu, karena dia akan pergi ke mesjid sebelah. Diluar dugaanmu, kan, boy? Dengan ngantuk aku bangkit, lalu menyadari, eh, kapan aku sempat memakai selimut dan mengambil bantal? Belum cukup kejutannya. Di kaca studio aku membaca post-note yang tampak baru: “Welcoming a brand new me”.

Jil, Alyo takes this too seriously.

S.O.S

Kalin, yang panik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *