Serial Dua Belas Hari #1
Spesial untuk my classmates senja and mba lee yang katanya langganan nyambangin my sites (duileee..he.hee), mulai malem ini aku mau posting cerita serial buat kalian..serial tentang cinta (lagi-lagi cinta-cintaan..”what;s wrong with me?” ^_*) tapi serial yang satu ini ending nya menarik deh.. cukup luangin waktu 3-5 menit per harinya untuk nikmatin kelanjutannya.
bukan karya ku sihh., tapi seneng aja bisa linking hal-hal menarik in my blog..
sembari belajar nulis semoga sisipan-sisipan ini jadi modal and bekel awal sebelum jadi truely writer..mohon doanya teman-teman ^_^
by : Kinsia Eyusa Merry
Dua belas hari.
Karena kita tidak saling kenal.
Saat ini, aku sedang menatap pemuda di sebelahku —bermantel cokelat, rambut kecoklatan, kacamata bulat lucu, dan tindik di telinga kiri (oh, bisakah kau percaya itu)— dan dia balas menatapku. Kami sedang menghangatkan diri di kafe kecil dekat kampusnya. Kalau kukenalkan padamu, Jil, aku yakin kau akan langsung beku di tempat. Dan siapa dia sampai-sampai harus kukenalkan padamu?
Dia Alyo. Pilihan bapak untukku. Dan pernikahannya, dua belas hari lagi.
Bapak mengirimku seminggu ke Seattle juga untuk menemuinya. Lebih tepatnya, khusus untuk menemuinya. Beliau ingin kami berkenalan, bertukar informasi berguna, mengadaptasi gaya bercanda masing-masing, dan pulang ke indonesia dalam keadaan “sudah jadi teman dekat”. Seminggu, Jil. Seminggu.
Ospek kita saja makan satu semester, kan?
Aku penasaran apa yang membuat bapak menetapkan pilihan. Disaat aku masih semester lima, dan Alyo tahun pertama program s2nya. Setiap kali aku merengek minta dijelaskan alasan, Bapak akan bilang, Alyo banyak menolongnya waktu research di US. Ayolah, Pak! Ada banyak lagi cara untuk berterimakasih selain menyerahkan anak gadismu ini.
Hei, Jil! Masih mendengarkan?
Ini sudah hari kelima dan semuanya terasa biasa, cenderung bosan, malah Jil. Alyo cukup baik, mencukupi semua keperluanku, dan cukup ketat menyeleksi makanan yang halal dan baik untuk kukonsumsi, tapi itu saja tidak cukup. Aku mau satu faktor luarbiasa yang akan mendorongku untuk mahfum akan keputusan bapak. Seperti, jatuh cinta, misalnya?
Sudahlah Jil. Semakin dipikirkan, semakin mumet. Aku kangen rumah, kangen panas matahari jam sembilan pagi. Disini freezing dan aku semakin malas mandi.
Jil. Tolong jangan sampai surat ini bocor ke bapak, ya?
Sincerely, sahabatmu yang labil.
—-
Jil, besok aku pulang!
Yang kemarin kenapa tidak dibalas? Aku rasa kau tidak membacanya karena lebih dulu tahu jumlah kata yang harus kau baca. Dasar payah. Hari ini aku dan Alyo terlibat percakapan yang serius. Aku menceritakan alasan kenapa bisa mengambil major fine art, bagaimana meraih izin bapak ibu, bagaimana dilepas ke singapur dengan berat hati, dan bagaimana akhirnya malah pindah jurusan ke psikologi. Pokoknya hal-hal akademik yang remeh temeh.
Terus dia bilang gini. “Whoa, you’re persistent”.
“Yes. Indeed. How about you? You took law as your degree major, right?”
Dan baru aku sadar selama ini dia mahasiswa jurusan apa! Music composition, Jil! Dan program masternya pun musik!
Ingat kan, waktu bapak menghardik kita karena belajar gitar di ruang depan? Waktu adit diomeli karena menyanyi kayak orang mabok pas azan maghrib? Waktu poster God Bless dari adit yang kutempel di dinding kamar, bapak copot diam-diam tengah malam?
Semakin lama pertanyaannya semakin banyak, Jil. Dan aku entah bagaimana yakin, bapak merencanakan “something” dibalik perjodohan aneh ini.
Abad dua satu, oke Jil? Salam metal.
sincerely,
Kalin yang mulai banyak makan.