Tulisan : Menikahpun Perlu Ilmu #1
Bismillah
Tulisan ini saya kutip dari buku terbaru ustad Salim a Fiilah tentang kumpuan twit beliau yang disusun kembali menjadi satu buah buku sehingga bisa mengumpulkan yang terserak, mozaik yang terberai menjadi suatu bentuk. Ya mungkin dalam bentuk ,itu masih ada beberapa yang kosong namun bukankah lebih nyaman memandang suatu bentuk yang kita dapat menerka, ketimbang memandangi yang masih terberai?
Dalam isyarat nabi tentang menikah, ialah sunnah terjujur yang termuliakan. Sebuah jalan suci untuk karunia sekaligus ujian cinta-syahwati. Maka menikah sebagai ibadah, memerlukan kesiapan dan persiapan. Ia tuk yang mampu, bukan sekedar mau. “Ba’ah” adalah parameter kesiapannya. Maka berbahagialah mereka yang ketika hasrat nikah hadir bergolak, sibuk mempersiapkan kemampuan, bukan sekedar memperturutkan kemauan.
Persiapan menikah hendaknya segera membersamai datangnya baligh, sebab makna asal “ba’ah” dalam hadits itu adalah “kemampuan seksual”. Iman Asy-Syaukani dalam Subulus Salam, Syarh Bulughul Maram, menambahkan makna “ba-ah” yakni: kemampuan meberi mahar dan nafkah. Mengompromikan “ba-ah” dimaknai utama (seksual) dan makna tambahan (mahar,nafkah), idealnya anak lelaki segera mandiri saat baligh.
Jika kesiapan nikah diukur dengan “ba-ah”, maka persiapannya adalah proses perbaikan diri yang tak pernah usai. Ia terus berlangsung seumur hidup. Izinkan saya membagi persiapan nikah dalam 5 ranah: ruhiyyah (spiritual), ‘ilmiyyah (pengetahuan), jasadiyyah (fisik), maaliyyah (finansial) dan ijtimaaiyyah (sosial).
Persiapan nikah perlu start awal. Salim nikah usia 20 tahun, tapi karena persiapannya dimulai umur 15 tahun, maka tak bisa disebut tergesa-gesa. Sebaliknya, ada orang yang nikahnya umur 30 tahun, tapi persiapan penuh kesadaran baru dimulai umur 29,5 tahun. Itu namanya tergesa-gesa.
Kita mulai dari yang pertama; persiapan ruhiyyah. Ialah yag paling mendasar. Segala persiapan nikah lainnya berpijak oada yang satu ini. Persiapan ruhiiyyah (spiritual) ada pada soal menata diri menerima ujian dan tanggung jawab hidup yang lebih berlipat, berkelindan. Surat Ali Imran ayat 14: Sebelum nikah ujian kita linear; pasangan hidup. Begitu nikah berjejalin; pasangan, anak, harta, gengsi, investasi, bersekutu menajdi ujian kita.
Sebelum nikah, grafik hidup kita analog dengan amplitudo kecil. Setelah menikah, ia digital variatif, kalau bukan NIKMAT, ya MUSIBAH. Maka termakna jua dalam persiapan ruhiyyah terkait nikah adalah kemampuan mengelola SABAR dan SYUKUR mengahdapi tantangan-tantangan itu. SABAR dan SYUKUR itu semisal tentang pasangan; ia keinsyafan bahwa tak ada yang sempurna. Setiap orang memiliki lebih dan kurangnya.
Khadijah itu lembut, penyabar, penuh pengertian, dan dukung penuh perjuangan. Tetapi tak semua lelaki mampu beristri jauh lebih tua. Aisya: cantik, cerdas, lincah, imut. Tetapi tak semua lelaki siap dengan kobar cemburunya yang sampai banting piring di depan tamu.
Persiapan ruhiyyah nikah adalah mengubah ekspektasi menjadi obsesi. Dari harapan akan apa yang diperoleh, menuju yang apa akan dibaktikan. Jika nikah masih terbayang, lapar ada yang masakin, capek ada yang mijitin, baju kotor dicuciin. Itu ekspektasi. Bersiaplah kecewa. Ekspektasi macam itu lebih tepat dipuaskan oleh tukang masak, tukang pijit, dan tukang cuci. Berobsesilah dalam nikah. “Apa Obsesimu?”
Obsesi sebagai persiapan ruhiyyah nikah semisal : bagaimana kan akan berjuang sebagai sumai/istri ayah/ibu untuk mensurgakan keluargamu? Usai itu, diantara persiapan ruhiyyah nikah adalah menata ketundukan pada segala ketentuan-Nya dalam rumah tangga dan masalah-masalahnya.
–bersambung
Kalo sekarang umur 20 tahun, berarti untuk target menikah umur 23 tahun bukan sesuatu yang tergesa-gesa kan?