story

Dua belas hari #12

Dua belas hari. Bagian dua belas.
Kinsia Eyusa Merry

Jil, siapkan mental untuk satu pertanyaan yang akan membuatmu tercengang, ternganga, termanggu, terguncang, dan sebagainya. Enggak Jil, jangan lompat ke paragraf terakhir, pertanyaannya nggak disitu. Baca saja email ini pelan-pelan. Nanti ketemu sendiri. Oke?

Dari tulisanku kau pasti sudah menebak bahwa aku ada dalam kondisi on the ground. zero level. melantai. rapuh serapuh-rapuhnya #ecie

Jil, jawab yang jujur ya, aku ini cenderung polos atau bodoh, sih?

(Warning: Ini bukan pertanyaan ultimate! Ini cuma pop-up. Teruskan membaca)

Tadi sore, akhirnya, dengan mengesampingkan segala gengsi, aku masuk ke studio mini. Ternampaklah pemandangan Alyo yang sedang nyoret-nyoret kertas partitur, memangku sebuah gitar akustik warna cokelat terang (keterangan yg tidak perlu).

Aku lalu bertanya, “Halo. Sedang apa?”, aku basa-basi, melongok di pintu.

Alyo menoleh. Aku mempersiapkan diri menghadapi muka masam atau bibir manyun. Eh, ternyata ekspresinya riang gembira. Hah, bocah yang membingungkan!

“Bikin lagu”, Alyo menjawab sambil menaik-naikkan alis. Ala-ala menggoda.

“Kamu nggak marah?”, aku duduk di sofa. Naikin kaki. Melipat kaki. Meluk kaki. Posisi wuenak.

“Marah kenapa?”

PARARAAAMPAAAM. Bisa-bisanyaaaa dia lupa sama peristiwa “Oh” di kebun.

“Yang Oh, terus dieeem sampe sore?”

“Hahahahahahaha. Maaf ya. Saya KESEL sama Jil”.

(itu “kesel” ditulis besar-besar soalnya Alyo ngomongnya pakai penekanan).

“Kenapa?”

“Kamu sama dia, kayak belom selesai”, raut wajah Alyo mendadak serius.

“Emang nggak bakal selesai sampai kapanpun. Saya sama dia kan temen”.

Aku kan ngeyel, Jil. Kau tau itu. Alyo meneliti mataku dalam-dalam. Lalu dia mengangguk pasrah.

“Oke”.

“Jangan sampe ‘oke’ ini fungsinya sama kayak ‘oh’ tadi. Memulai perang dingin”

“Hahahahahahaha. Enggaaaak. Saya percaya kok sama kamu”, dia ngomong sambil nyetel-nyetel gitar, menghindari kontak mata. Tapi aku merinding. Terharu.

“Tapi jangan banding-bandingin saya lagi ya, sama Jil. I know he’s way way better. Way earlier. Way too handsome. Way too good to be true”.

“Heh heh! Jangan mulai”, aku melotot.

“Hehehehe, abis kamu kalo ngomongin Jil berapi-api”.

“Bukan gituuu. Saya justru nyeritain segala detail Jil dengan kasual, supaya ketara kalau kami berteman baik. Seandainya saya masih ada rasa, saya pasti nyembunyiin rapet-rapet tentang keberadaan Jil, ya kan ya kan?”

Menyembunyikan keberadaan rapat-rapat. It rings a bell.

“Kamu, ini jangan marah ya, cuma nanya. Seratus persen cuma nanya”.

“Anggita?”, naluri Alyo bekerja baik sekali. Tebakannya tepat.

“Hmm, kamu sama anggita, udah selesai, kan?”

Alyo mengangguk cepat. Tidak menyukai topik ini, kurasa.

“Liat sini dong”, aku menarik gitar yang dipegangnya, mengistirahatkan gitar itu di atas sofa, dan mengemas kertas-kertas partitur di atas meja. Sekarang hanya ada aku dan Alyo. One on one. Face to face. Tanpa gangguan. Alyo bertangan kosong sehingga tidak bisa lagi pura-pura sibuk.

“Udah selesai? Atau nggak pernah diselesaikan?”, tanyaku jahat. Iya tau, jahat. Pikirkan dari perspektifku dong Jiiiil. Aku juga tersiksa ngomongin beginian. Tapi ini WAJIB, demi kejelasan masa depan kami #halah

“Gimana kita tau, kalau kita sama orang itu emang udah bener-bener selesai?”

“Pakai perasaan lah. Kalau ketemu, biasa aja, nggak deg-degan. Nggak kangen. Nggak pengen ngobrol lama-lama. Nggak berjuang buat ngasih hadiah. Nggak bikin suprise. Nggak perhatian. Nggak pengen ngasih perhatian lebih”.

Alyo diam sebentar. “Yaudah, kalau gitu saya sama anggi selesai”.

“Setelah putus, emang kamu pernah ketemu dia? Lagi? Enggak kan? Orang kamunya menghindar gitu”, aku esmosi. Ngebet banget kayaknya menyudutkan Alyo. Heran. Manusia jaman sekarang suka banget nyiksa diri ye? Masang tindik. Make tato. Baca-bacain tweet orang tentang kesuksesan pribadi dan hubungan mereka. Melihara kecemburuan berlebihan. Nah. Untuk ciri-ciri yang terakhir kayaknya I’m included, Jil (T___T)

“And the point is…”, Jil terbawa arus. Aku tahu dia galau-segalau-galaunya.

“And the point is… MEET HER! You have to be sure about your own feeling!!!”, I yelled at him. Eh sori keterusan bulenya. Translate: Aku membentaknya.

“Saya selama ini menghindari cerita tentang anggi, semua yang berbau anggi, dan masa lalu pait, untuk jagain perasaan kamu lho. Kenapa kamu malah minta saya KETEMUAN sama dia?”.

Sekali lagi. Penekanan: KETEMUAN.

Aku memanfaatkan sisa-sisa kemahiran berdebat jaman SMA.

“Supaya kamu nggak diam-diam bertanya lagi, eh gimana yaaa kalo gue nggak sengaja ketemu anggi di jalan. gimana ngasih tau dia kalau gue udah nikah, sama anak orang entah dari mana karena dijodohin bapaknya. gimana kalo entar gue luluh lagi sama anggi. gimana kalau gue dan anggi memang sebenernya belom selesaii, gimanaa yaaa gimanaaaaaa”.

Alyo menatapku tajam. Aku menatapnya tajam. Dia menunduk, ngangguk pasrah.

“Iya oke. Sore ini juga saya ke bandung. Ketemu Anggi. Dan bicara. Itu kan yang kamu mau?”

Aku mengangguk. Padahal dalam hati aku jerit-jerit, ‘Alyo bodoooh, yang saya mau, kamu dengan mantap menjawab bahwa kalian sudah selesai. Titik’.

Alyo mengambil kunci mobil dan memakai jaket. Aku mengantarnya sampai garasi.

“Saya balik malem ini juga kok. Tungguin sampe jam sepuluh ya. Kalau lewat, kamu tidur aja, kunci pintunya. Saya bawa kunci”.

Alyo dan jazz putih berlalu dari hadapan. Aku patah-patah.

Kenapa Alyo begitu bersemangatnya dengan ide tololku yang tercetus karena gengsi? Kenapa aku ngizinin? Kenapa aku malah mengantarnya ke depan pagar? Gimana kalau dia akhirnya BENAR-BENAR luluh lagi buat anggi? Gimana kalau mereka nggak jadi selesai, malah menyemai bibit-bibit baru? Gimana Jiiiillll????

My heart has been broken badly, Jil.

Dan disaat-saat seperti ini, I want to call you, cry on the phone, letting you worry, try hard to calm me, and end up with a promise that you’ll book a flight from surabaya to comfort me.

Ini pertanyaannya.

“Untuk hubungan yang satu tingkat di atas pertemanan itu,

kita benar-benar sudah selesai kan Jil?”

(aku bohong. pertanyaannya memang di akhir. tapi kalau dibilang awal-awal, kau pasti lompat ke paragraf ini dan mengabaikan prolognya. Nanti tidak syahdu)

Tolong Jawab. Sesegera Mungkin.

Sincerely Kalin,

your (once upon a time) girlfriend

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *