Dua belas hari #11
Dua belas hari. bagian sebelas.
Kinsia Eyusa Merry
Selamat sore, mr. Jil. Bagaimana kakinya? Daridulu kau memang tidak pernah beruntung kalau berhadapan dengan bola. Terkilir, ter-tackle, tersikut, etc.
Kasihan 😛
Oke, kembali ke laptop.
Akhirnya malam itu aku ikut Alyo kembali ke rumahnya. Kami sampai pukul satu malam dan aku rebah saking capeknya. Dan pagi-pagi, aku menyadari sesuatu. Ada benda-benda baru yang sebelumnya tidak ada di kamarku. Sepasang sendal rumah, meja belajar garis miring meja rias (karena ada rak buku dan cermin diatasnya), dan lampu tidur ikan-ikan berputar seperti di film petualangan sherina! Waw!
Itu belum apa-apa, Jil. Diatas benda-benda baru tersebut, ada tempelan kertas kecil bertuliskan: WELCOME HOME! ^^
Aku speechless. Hahahaha.
Aku lalu turun tangga pelan-pelan, berusaha membuat seminimal mungkin kebisingan, dan langsung menuju dapur. Yah mungkin saja ada sesuatu yang bisa kugarap untuk sarapan. Di atas meja dapur ada roti tawar dan selai. Hm, tidak. Ini terlalu biasa. Bosan.
Selanjutnya aku memeriksa kulkas. Dan terkejut. Kulkas penuh. Beberapa kotak susu, sayur-sayuran, telur, dan bermacam-macam buah, tertata rapi dan tampak baru dibeli. Di dalam freezer ada tiga kotak es krim yang terdiri dari vanila, coklat, dan strawberi. Aku tertawa-tawa senang. Tapi sejenak kemudian, aku berhenti tertawa. Di tutup kotak es krim, kutemukan tempelan kertas kecil yang sama:
WELCOME HOME! ^^
Dug, dug, dug. Aku menggedor kamar Alyo.
PS: ayolaah kita sudah terlalu sering pakai sound effect tok tok tok.
Mukanya sumringah. Sudah mandi, sudah wangi dan sudah sisiran. Huh, soal ini aku memang tak pernah menang.
“Saya punya dua pertanyaan”, ujarku semena-mena.
“Hmm”, Alyo menutup pintu kamarnya dan bergerak menuju taman belakang. Aku mengekor di belakangnya.
“Pertama, soal benda-benda welcome home itu. Darimana kamu tau kalau kemaren saya bakal nurut dibawa pulang? Kan saya bisa aja nolak?”
“Ohh itu. Sebenernya itu nyiapinnya udah dari seminggu yang lalu. Saya pikir setelah pulang dari rumah sakit kamu bakal langsung dianter kesini. Saya nunggu sampe sore, nggak ada berita. Terus saya telfon ke rumah kamu yang ngangkat bapak. Dan disitulah bapak bilang jangan kesini duluuu, kalinnya masih emosi, nanti kalau sudah reda bapak kabariin, dan sebagainya. Seminggu kemudian, krik krik”.
“Hahahahahhaa bapak pasti lupa laaah yang detail-detail gitu”.
“Haha salah saya juga sih nggak ngingetin”.
Alyo mulai menyirami tanaman dengan rajin. Karena aku tidak tergerak untuk membantunya, aku duduk saja di ayunan.
“Oke pertanyaan kedua. Sejak kapan kamu jadi romantish?”
“Sebenernya saya kan romantic by nature. Saya pikir kamu nggak suka hal yang kekeju-kejuan gitu jadi ya nggak saya praktekin”.
“Hmmm, romantic by nature”, aku mengangguk-angguk.
“Eh! Romantic by nature bukan berarti saya punya sepuluh mantan dan terbiasa ngasih-ngasih kejutan dan ngegombal ke mereka ya”, ia memasang tampang serius. Lucu sekali.
“Mhhahaha. Emang kamu punya berapa mantan?”, naluri penyelidik datang.
“Are we doing THE TALK, now? Hahahaha”.
“Yes. Please answer truthfully”.
“Oke. Satu”.
“Bohong Belaka!”
“Jujur. Pas sma, kelas satu sampe kelas tiga”.
“Bohooong!”.
“Jujuuur. Namanya anggita jasmin”.
“Putusnya kenapa?”
“Ditinggal”.
“Kenapa?”
“Nggak pernah tau kenapa”.
“Kenapa nggak nyari tau?”
“Nggak pengen tau”.
“Anggita jasminnya sekarang dimana?”
“Di Bandung”.
“Jadi itu alasan kenapa kamu seumur-umur belum dan nggak pengen ke bandung sebelum liburan yang kemaren itu?”
Alyo diam. Suasana menjadi tidak nyaman dan aku menyesal sudah bertanya. Selama beberapa menit yang terdengar hanya suara semburan air dari selang.
Swusshh swuussshhh. (oke. stop playing with sound effect, kalin!)
“Yours?”, untungnya Alyo buka suara lagi.
“Dua belas! Rocks! Wuahahahha”.
“Paling lama sebulan ya? Ketebak banget!”
“Enak aja setauuun wee”.
“Sama siapa?”
GULP. Aku menelan ludah. Berkeringat dingin. Bergelagat seperti pencuri ayam.
“Jangan marah ya”, bujukku (sok) imut.
“Kenapa harus marah?”
“Karna saya pernah ngenalin orang itu ke kamu”.
Alyo berpikir dan menggeleng. Tidak ingat rupanya.
“Itu lho, yang Jil Jil itu”.
Maaf Jil, aku terpaksa mengakuinya se-kasual mungkin. Ihiks.
“Itu bukannya sepupu kamu?”, suara Alyo dibuat-buat tenang. Tapi aku menangkap nada lain. Semacam nada tinggi? Nada marah? Nada menyembunyikan emosi?
“Setelah putus kan saya tetep temenan. Dan dia udah dianggap kayak bagian keluarga. He’s like an older brother for me”.
“Putusnya kenapa?”
“Karna enakan temenan”.
“Emangnya Jil anaknya gimana?”, Alyo bertanya tanpa melihat ke arahku. Dia sibuk mencabut-cabut rumput liar yang tumbuh merambat di sekitar keran.
“Baik paraaah. Ganteng paraaah. Jorok. Suka cabut kelas, cabut bimbel, cabut upacara seenak hati. Pinter paraaah. Mendekati jenius. Rela dicurhatin berjam-jam di ruang tamu tapi sampe pulang nggak dibikinin minum. Partner in crime pas ulangan kimia. Anak kesayangan kepala sekolah, dipanggil ke kantor kepsek udah nggak keitung berapa kali tapi nggak pernah kena poin. Suka bantuin Ibu nganterin kueh pesenan orang pas lebaran. Pernah dilempar bapak pake asbak. Pernah ngadoin bapak bibit taneman. Pernah nanem bibit bareng bapak. Gitu lah”.
“Oh”.
Dan setelah Oh itu Alyo tidak banyak berkata-kata. Kami ke pasar. Aku masak. Kami makan siang. Aku cuci piring. Dia mengelap piring basah. Aku naik ke kamar. Dan dia masuk studio.
Asdfghjkl. Kali ini salahku apa lagi?? HAH?? HAH???? *tak sadar diri*
ps: mohon jangan melambung karena deskripsi di atas dibuat semata-mata untuk membuat Alyo panas. Dan berhasil. Memulai perang dingin. *sigh* *toyor aku*