story

Dua belas hari #10

dua belas hari. bagian sepuluh.
Kinsia Eyusa Merry

Jiiiiiiiiillllllllllllllllllllll!!!!!!!!

Kemarin adalah hari bersejarah, Jil. Kau tahu kenapa? Kau pasti tidak tahu. Kau kan bukan cenayang, hahaha #random #abaikan

Timbul pertanyaan di benak Jil. “Sebersejarah apa sih?”

Tenang, Jil. Kau tak perlu menunggu lama untuk tahu jawabannya. Kemarin, tepat seminggu Alyo “hidup” tanpa kabar. Tanpa mengabariku. Boro-boro main ke rumah, minta maaf, bawa kueh atau balon-balon, KABAR saja tidak ada, Jil. Keterlaluaaan.

Seharusnya aku senang, kan? Akhirnya kuperoleh kebebasanku kembali. Teman-teman angkatan silih berganti datang, beberapa bahkan menginap dan memfotokopikan catatan. Bapak dan Ibu membolehkanku jalan-jalan, walaupun tidak boleh jauh-jauh amat. Sore-sore aku main sepeda ke taman, lalu duduk mendinginkan badan dan kalau beruntung, cowok ganteng atletis dan berkeringat yang sedang lari sore, lewat-lewat di hadapan. Hahahahaaha.

Seharusnya aku senang, tidak perlu melipat cucian. Berbelanja bahan makanan. Menyiapkan sarapan, dan ngepel sampai pegal.

Tapi pikiranku tidak bisa diajak bekerjasama, Jil. Ia menolak menikmati perang dingin ini. Kalau aku tidak meyibukkan diri, maka pikiranku akan mulai menganalisa, masalah apaaaa yang begitu prinsipilnya sehingga Alyo sampai seminggu enggan menampakkan muka. Kalau marah ya marah sajaaaa T___T

Atau jangan-jangan dia menghabiskan seminggu bertapa, berpikir matang-matang apakah “Semua ini” layak diteruskan.

Bagaimana kalau ia sampai pada keputusan untuk udahan saja?

Dan selama pertapaan itu, ia mungkin makan sehari sekali. Tidak mandi. Err, itu tidak mungkin. Alyo orangnya sangat pembersih. Tidak tidur malam. Melarikan diri dan tenggelam dalam studio, mengulik gitar, memeluk gitar, menangis diatas gitar #lebai

Atau siapatahu, dia sekarang gantian, terbaring sakit karena terlalu banyak beban pikiran. Tapi dia minta keluarganya agar merahasiakan itu dari aku, huhu, ah kayak sinetron -__-“

Dan bodohnya, kalau semua pikiran-pikiran diatas sudah menggerayang dan menguasai akal sehat, aku mendadak tidak selera makan, susah tidur, dan mengalami gangguan emosi. Ya ya, sesuai tebakanmu, apa lagi? Tentu saja aku nangis mendayu-dayu.

Dan kemarin kuanggap bersejarah karena ALYO PADA AKHIRNYA MENUNJUKKAN BATANG HIDUNGNYA! Hampir saja aku peluk, Jil. Untung tidak jadi. Tengsin, men.

Aku sedang melaksanakan tugas kunci pagar depan ketika mobilnya parkir sembarangan. Ia turun tergesa-gesa dan seperti di pilim-pilim, ia berteriak mencegahku:

“Kalin! Tunggu!”

Aku merenggangkan pagar, memberinya celah untuk masuk. Susah payaaah kutahan diri supaya tidak mengeluarkan sepatah katapun. Kan ceritanya marah, Jil. 😛 Kami lalu duduk melantai di teras.

“Saya minta maaf, bentak-bentak kamu pas kamu sakit. Seharusnya kan saya menghibur, kan? atau bawain makanan?”

Aku masih diam.

“Saya tau kamu kesel setengah mati”.

Aku menghela nafas. Sengaja. Biar dramatis.

“Tapi waktu itu saya benar-benar cemas, kalut, khawatir…”

Aku mengerjap-ngerjap. Terharu. Tapi buru-buru memalingkan pandangan ke semak-semak, supaya dia tidak lihat.

“Kenapa kamu nggak marah aja sih? Marah terang-terangan, bentak balik?? Apa enaknya perang dingin kayak gini?”, dia mencari mataku. Dan aku langsung mencium ada yang nggak beres.

“Setiap saya telfon ke rumah kamu, Bapak bilang mungkin kamu perlu waktu berpikir, menjernihkan pikiran, saya jangan dateng dulu, kamu masih emosi, biasanya kalau marah kamu keselnya lama, dan sebagainya. Tapi seminggu kan kelamaan”, Alyo menunduk.

NAH! Ketemu masalahnya!

“Kenapa pake nanya bapak, sih?”, aku buka mulut juga.

“Lho, kan henfon saya ilang! saya cuma hafal nomer rumah”.

“haaahhhhhhhh, Alyooooo, bego ah”, aku menonjok lengannya dengan kekuatan maksimal. Lalu aku tertawa sepuas-puasnya.

Alyo nyengir. “Hahahahaha, saya bego ya?”

“Saya juga!”, aku balas nyengir. “Saya pikir kamu yang marah”.

Dan kami saling berikrar bahwa setelah ini, masalah apapun akan diselesaikan berdua, berantem kek, world war kek, musyawarah kek, win-win solution, apapun jalannya, tanpa melibatkan pihak ketiga. Bapak sekalipun.

“Ayo ikut saya pulang”, Alyo menepuk pundakku.

“Pulang?”

“Yes, to our palace”.

“Tonight?”, tanyaku basa-basi.

“Yes, because i need my queen back!”

Awwww, Alyo udah pinter ngegombaaaaal.

Hidupku setelah ini akan bahagia, Jil. Hahahaha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *