Dua belas hari #9
Dua belas hari. bagian sembilan.
Kinsia Eyusa Merry
Jil, i’m home! :D/
Home here means home, literally, karena sekarang aku bersama bapak dan ibu, di rumah yang sebenar-benarnya rumah. Bagaimana dengan Alyo? Tidak tahu. Mungkin dia sedang sendirian di studionya yang nyaman. Peduli amat.
Oh iya. Jangan marah ya. Aku bolos kuliah minggu pertama. Dan demi pemulihan, sepertinya bolos ini akan berlanjut seminggu lagi, hihihi.
Kemarin di rumah sakit terjadi huru-hara. Padahal kondisiku sudah jauh mendingan, badan sudah tidak lemas, demam yang naik turun sudah berlalu, sudah berkeringat dan sudah diizinkan makan es krim. Eh, dia muncul. Aku baru bangun tidur siang, dan taraaa, dia sudah di sofa, mengupas jeruk dengan muka semasam jeruk.
“Eh, Alyo”. Saat itu aku speechless. Aku ingin marah padanya. Tapi herannya, hatiku tidak marah. Malah cenderung lega. Huh, sungguh hati yang lemah -,-
“Saya marah sama kamu!”, suaranya meninggi. Aku kan belum pernah lihat dia marah. Jadi seketika aku berkeringat dingin. Kenapa jadi terbalik sih? Seharusnya kan aku ngamuk duluan.
Bapak masuk, menyelamatkan suasana. Tapi begitu membaca ketegangan antara kami berdua, Bapak buru-buru keluar. Aku disidang lagi.
“Saya cuma minta kamu jaga diri…”, kata-katanya terputus. Saatnya aku membalas.
“Emangnya kamu pikir saya nggak jaga diri? Saya sakit ya karna emang udah saatnya. Kenapa saya malah dimarahin?”, suaraku tak kalah tinggi.
“Jadi nggak tidur dua malam, nggak makan seharian, namanya jaga diri?”, ia sengit.
“Udahlaaah pake diperpanjang. Iya saya salah saya bandel saya nyusahin”, aku menjawab ketus.
“Saya cuma pengen deal yang fair. Di bali saya jaga diri. Setelah jam enam sore, saya nolak segala ajakan chaerin dan suaminya, cho min, karna saya tau mereka bakal nyeret saya kemana. Saya milih jalan-jalan ke pasar dan ke galeri lukisan dibanding pantai, karna saya tau apa yang bakal saya liat di sepanjang jalan. Henfon saya hilang di bandara dan saya langsung cari telepon koin, minta tolong bapak ngabarin kamu kalau saya udah sampai, karna saya cuma hafal nomor rumah kamu. Saya beliin kamu suvenir sampai satu kardus karna saya inget kamu dulu pernah kuliah di jurusan fine art. Dan sebagai balasan dari segala usaha saya, kamu malah sakit kayak gini. Adil gak kira-kira??”.
Itu kalimat terpanjang yang pernah Alyo ucapkan. Nafasnya tersengal, kelihatan sangat emosional.
“Gimana kalo saya balik nyalahin kamu? Gimana kalo ternyata saya nggak makan dan nggak tidur gara-gara kamu?”
Jil, aku tidak tahu darimana datangnya kata-kata itu. Tapi aku merasa tolol setelah mengucapkannya. Alyo terperangah. Ia terdiam lama. Mencerna. Atau yang lebih berbahaya, mentafsirkan terlalu dalam.
“Terserahlah! Yang penting sekarang kamu udah baik-baik aja!”, Alyo menggantung perdebatan kami dan meninggalkan ruangan dengan pintu ditutup keras. Sampai malam dia tidak kembali. Sampai tadi pagi. Sampai aku diperbolehkan pulang. Sampai bapak dan ibu menyuruhku nginap di rumah dulu. Sampai siang bolong begini. Sampai aku menulis email ini. Dia tidak punya alasan untuk marah sampai segitunya, kan, Jil?
Seperti juga aku, yang sebenarnya tidak punya alasan kuat untuk galau hanya karena konser Chaerin yang ternyata sudah bersuami.
Betul kata Bapak. Alyo dan aku, kalau disatukan, akan jadi menarik. Semakin kami saling mengenal, semakin banyak yang harus ditebak dan dipecahkan.