Dua belas hari #8
Dua belas hari. bagian delapan.
Kinsia Eyusa Merry
Jil, bosan Jil disini. I miss home already. Disini makanannya huek, sepanjang hari juga disetelin acara tivi yang huek. Kadang-kadang ada suster yang ekpresinya jutek huek.
Kenapa kau tidak menjengukku hah? Berapa lah jauhnya Surabaya jika dibandingkan dengan kemenderitaan dan kebosanan sahabatmu ini? 🙁 *merayu*
Ibu pasti sudah kasih kabar kan Jil. Tifus Jil, seperti waktu kelas tiga SMA. Aku mulai nakal, iya tau. Kau kebelet menjewerku, iya tau. Tapi sepatutnya kau menjewer Alyo, bukan aku.
Malam sebelum keberangkatannya ke Bali (untuk tujuan liburan dan senang-senang), aku tidak tidur. Tidak bisa, tidak mau, tidak capek, entahlah, badanku kan memang suka sok kuat. Aku sibuk stalking profile facebook teman-teman lama, main cityville, main ulartangga dengan ‘pion’ tunggal, baca buku statistik, dan setelahnya baru merasa ngantuk. Ketika mataku sudah 2 watt, Alyo mengetuk pintu dan aku sadar hari sudah pukul 6 pagi. Gosh, tidak sempat tidur -,-
Di mobil, sambil menyetir, Alyo berkali-kali melirik aku yang tepar dan pejam mata curi-curi. Aku tidak mau dia berpikir aku ngantuk, lalu memutuskan naik taksi saja. Tapi kantuk susah sekali ditahan, dan blass, aku ketiduran sepanjang perjalanan. Semoga tidak ngigo -_-“
“Kalin, kamu bener gakpapa?”, Alyo bertanya untuk kali ke-enam belas.
“Saya nggak papaaa. Cuma tadi agak ngantuk. Mungkin tidurnya kurang”, aku menjawab untuk kali ke-lima belas. FYI, waktu Alyo pertama bertanya, aku tidak menjawab karena kelewat gondok. Udah jelas PAPA, masih nanya GAKPAPA! Huh! Gak peka!
“Yaudah nanti sampe rumah tidur lagi aja yaa. Jangan balapan di tol. Besok kamu udah mulai semester baru, kan? Malam ini jangan begadang lagi”.
“JANGAN BERISIK”. Eh, bukan. Aku nggak bilang begitu padanya. Itu papan pengumuman yang ditempel di belakang mobilnya Alyo. Tapi sejujurnya aku sangat INGIN bilang begitu.
“Hmm”, aku mengiyakan singkat.
Alyo tersenyum dan mengangkat ranselnya. “Kalau saya udah sampe di hotel nanti saya telfon”.
Menit berikutnya, ia menghilang dari pandangan. Aku memang terkenal cengeng kan Jil? Apalagi untuk urusan bandara. Jadi daripada mataku berkaca-kaca, perpaduan rasa kesal, takut kenjen, cemas dengan penerbangannya, dan lain-lain, aku menelepon Hesti, teman akrabku, anak psikologi yang dulu pernah kau taksir.
“Hestiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!!!!!!!”
“Arghhh nyantai dong Kal! Kenapaaa???”
“Jalan yok”
“Ih gilak penganten baru. Sebulan melupakan gw dan ujug-ujug pas besok udah mo masuk, baruu kepikiran ngajak jalan. Cih tida bisa”
“Hesti ah”
“Baiklah. Mau kemana kita?”
“ITC yok”
“Nyari apaan?”
“Sepatu”
“Hah? Udah kan kemaren dulu”
“Sepatunya udah rusak! Udah belel, butut”
“Salah sendiri dulu milih yang murah”
“Ah kan yang penting pewe. Gw mo beli yang itu lagi. Yang sama persis warna sama mereknya”
“Labil!”
“Emang. Gw udah di depan rumah lo nih. Gw masuk yaa”
“Jadi tadi lo nelpon sambil nyetir? Bahaya tauuuk”
Tut tut tut. Disconnected.
Dan hari itu aku seharian berbelanja-belinji yang mana bukan merupakan tabiat dan kebiasaanku, melewatkan makan pagi, makan siang, dan cuma punya cheesy wedges untuk makan malam, dan tidak tidur lagi karena nungguin Alyo nelpon tapi dia tidak menelepon.
Dan paginya demam. Tepar. Sukses.
Jewer aku, Jil. Setidaknya jeweranmu itu menunjukkan kepedulian 🙁